Saya benar-benar berharap bisa mengatasi tragedi ini sebelum musim dingin yang berat tiba
Kota Gaza (ANTARA News) - Mohamed Jendeyyah, dengan tubuh menggigil, tiba-tiba terbangun setelah air hujan mengucur dari atap kamar rumahnya yang rusak parah akibat agresi 50 hari militer Israel di Jalur Gaza.

Udara dingin pertama di tahun ini, yang melanda wilayah itu pada Minggu (19/10), menambah berat tragedi yang dihadapi Jendeyyah dan ribuan orang Palestina di daerah kantung pantai tersebut.

Rumah mereka rusak parah selama serangan udara dan darat secara besar yang berakhir pada 26 Agustus.

Air hujan menerobos melalui lubang di langit-langit dan tembok rumahnya di Permukiman Sheja'eya di bagian timur Kota Gaza, akibat bom yang ditembakkan dari tank Israel ke permukiman itu.

Jendeyyah memiliki keluarga dengan 12 anggota, istri dan 10 anaknya.

"Hari ini saat menjelang fajar, saya tiba-tiba terbangun dan merasakan kolam air besar di dalam kamar tidur kami. Saya bergegas dan membaya anak-anak saya ke luar kamar tidur mereka dan gagal menutup lubang serta menghentikan air mengucur sehingga merusak barang-barang kami dan membuat kasur kami kebasahan," kata Jendeyyah, sebagaimana dikutip Xinhua.

Jendeyyah menghabiskan waktu sepanjang hari untuk menutup langit-langit rumahnya dengan nilon karena bahan mentah bangunan sangat kurang, walaupun Israel, PBB dan Pemerintah Otonomi Nasional Palestina (PNA) sepakat untuk mengizinkan bahan mentah bangunan memasuki Jalur Gaza bagi dilancarkannya proses pembangunan kembali wilayah tersebut.

Penduduk Jalur Gaza menduga musim dingin tahun ini akan berat dan mendatangkan hujan lebat serta topan, terutama warga yang rumah mereka telah rusak parah atau hancur selama serangan Israel terhadap Jalur Gaza, yang dimulai pada 8 Juli dan berakhir pada 26 Agustus, sejalan dengan kesepakatan gencatan senjata yang diperantarai Mesir.

Para ahli dan pejabat di daerah kantung pantai tersebut mengatakan sebanyak 18.000 rumah hancur total, sementara 30.000 rumah rusak parah atau rusak sebagian akibat perang itu. Prasarana daerah kantung tersebut juga rusak sangat parah.

Ketika Matahari terbenam, Jendeyyah, istrinya dan anak-anaknya berkumpul di sekitar kompor kayu untuk menghangatkan diri setelah sepanjang hari mengeluarkan air dari kamar tidur dan hampir sepanjang hari basah kuyup diguyur hujan. Bukan hanya ranjang telah basah tapi juga pakaian mereka.

"Hari ini, saya hanya merasa betapa sulit kondisi kami. Saya membandingkan bagaimana rumah kami sebelum perang dan bagaimana kondisinya sekarang," kata Jendeyyah.

Ia menambahkan, "Saya benar-benar berharap bisa mengatasi tragedi ini sebelum musim dingin yang berat tiba pada November, Desember dan Januari."

Sementara itu, keluarga Salman Qudeih di bagian tenggara Jalur Gaza hidup dalam kondisi yang tak jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi keluarga Jendeyyah.

Keluarga Qudeih hidup di karavan yang terbuat dari besi dan disumbangkan oleh lembaga amal lokal di Desa Khuza, bagian selatan Khan Younis di bagian timur Jalur Gaza.

"Berat untuk hidup di dalam karavan yang dibuat dari besi. Hujan mengguyur atap sehingga menambah ketakutan dan keprihatinan bahwa beberapa hari dan pekan ke depan akan jadi lebih berat, dengan cuaca buruk. Karavan ini hanya memiliki luas 35 meter persegi dan berisi dua ruang kecil, satu toilet dan satu dapur," kata Qudeih.

Sementara itu, puluhan keluarga masih hidup di ruang kelas gedung sekolah yang dioperasikan oleh PBB. Keluarga itu, yang telah kehilangan rumah mereka, menunggu pembangunan kembali rumah mereka, dan mereka tinggal di 11 gedung sekolah di seluruh Jalur Gaza.

Sallah Bardaweel, pemimpin senior HAMAS, memberitahu Xinhua, "Sejauh ini, proses pembangunan kembali di Jalur Gaza belum dimulai, kendati kami mendengar banyak pernyataan dan demikian banyak pertemuan diadakan dengan PBB dan Pemerintah Otonomi Palestina. Tak ada hasil nyata di lapangan."

(Uu.C003)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2014