Jakarta (ANTARA News) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan bentrok susulan antara aparat Brimob dan TNI di Batam 19 November lalu dipicu ketidaktransparanan proses penegakkan hukum pada kasus-kasus bentrokan sebelumnya.

"Konflik terjadi salah satunya disebabkan karena kurangnya proses penegakan hukum Polri yang obyektif, tranparan," kata Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai di Mabes Polri, Jakarta, Kamis.

Hal ini, menurut dia, membuat pihak TNI merasa bahwa penyidikan yang dilakukan Polri memihak dan tidak adil.

Terkait hal ini, Komnas HAM pun mendatangi Mabes Polri untuk mendorong penyelesaian kasus bentrok TNI - Polri di Batam yang terjadi pada September dan November 2014 lalu. Beberapa hasil temuannya dikomunikasikan kepada Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti dan beberapa pejabat Mabes Polri.

Dia mengatakan, proses hukum TNI dan Polri berbeda.

Proses hukum kepolisian menurutnya membutuhkan waktu yang panjang dari mulai penyelidikan, penyidikan, pelimpahan pengadilan sampai inkracht.

Sementara proses hukum di militer lebih singkat karena hanya mengadili pihaknya sendiri dengan menggunakan hukum pidana militer.

Dengan demikian, menurut dia, TNI merasa diperlakukan tidak adil karena anggotanya telah diberi sanksi, sementara Polri belum memberikan sanksi apapun terhadap anggotanya pada kasus bentrok bulan September.

Dikatakannya, Komnas HAM akan terus mengawal komitmen penegakkan hukum yang adil, imparsial dan obyektif sesuai janji kepolisian. "Komnas HAM meminta Polri melakukan penegakan hukum seadil-adilnya, imparsial, serta objektif," ujarnya.

Pada Rabu (19/11) terjadi bentrokan yang melibatkan oknum anggota Brimob Polda Kepulauan Riau dengan oknum anggota TNI Yonif 134/Tuah Sakti.

Kejadian ini pada awalnya disebabkan karena saling tatap antara dua anggota TNI dengan dua anggota Brimob.

Bentrokan yang disertai aksi tembak itu menyebabkan satu anggota TNI tewas dan satu warga sipil terluka terkena peluru nyasar.

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014