Bangkok (ANTARA News) - Thailand memperingatkan Amerika Serikat, Rabu, tidak campur tangan dalam urusan politik negara itu dan mengatakan bahwa banyak warga Thailand sakit hati oleh pernyataan utusan AS, yang menyinggung tindakan tidak demokratis junta militer berkuasa.

Thailand, sekutu lama AS, masih memberlakukan darurat militer menyusul kudeta pada Mei 2014 dan junta mengatakan pemilihan umum akan digelar setidak-tidaknya setahun lagi.

Hubungan antara dua negara itu merosot tajam sejak terjadinya kudeta, dengan pembekuan bantuan oleh Washington serta pembatalan beberapa kesepakatan keamanan.

Dalam pidatonya di hadapan mahasiswa sebuah universitas di Bangkok, Senin, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Asia Timur dan Pasifik, Daniel Russel meminta pelaksanaan politik yang lebih inklusif serta diakhirinya darurat militer.

Komentar Russel yang merupakan pejabat tinggi AS pertama mengunjungi Thailand sejak kudeta, dibuat beberapa hari setelah Perdana Menteri Tersingkir Yingluck Shinawatra dilarang berpolitik selama lima tahun dan menghadapi dakwaan kriminal atas skema pembelian beras.

"Kami tidak setuju dengan pernyataan Asisten Menlu mengenai politik yang disampaikan di Universitas Chulalongkorn. Itu melukai banyak warga Thailand," kata wakil Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai kepada wartawan setelah memanggil perwakilan AS, Patrick Murphy.

"Jika kami menuruti (keinginan Washington) serta mencabut darurat militer, dan ini menyebabkan timbulnya masalah, bagaimana mereka yang meminta pencabutan militer itu akan bertanggung jawab," katanya, "Dalam kenyataannya, warga Thailand bahkan tidak sadar ada darurat militer."

Russel mengatakan meski Washington tidak memihak dalam politik Thailand, legitimasi proses politik dan hukum ada di tangan warga Thailand sendiri.

Ia mengungkapkan keprihatinan bahwa proses politik sepertinya tidak mewakili semua elemen dalam masyarakat Thailand.

Russel bertemu dengan perwakilan pemerintahan militer, namun tidak bertemu dengan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha yang mengambil alih kekuasaan setelah memimpin kudeta.

Prayuth mengatakan ia berharap bahwa insiden tersebut tidak akan mengganggu perdagangan bilateral, dan menambahkan bahwa hubungan ekonomi masih berjalan normal.

"Ini membuat saya sedih, bahwa AS tidak memahami alasan kenapa saya harus campur tangan dan mereka juga tidak paham cara kerja kita, meskipun kita sudah menjadi sekutu selama bertahun-tahun," kata Prayuth.

Wakil Menlu Thailand mengatakan Washington tidak memahami kerumitan masalah politik lokal.

"AS tidak mengerti politik Thailand," kata Don, "Pemakzulan Yingluck bukanlah masalah politik."

Washington menurunkan level hubungan bilateral setelah kudeta Mei, memblokir bantuan militer senilai 4,7 juta dolar AS serta menunda kerja sama tingkat tinggi, beberapa latihan militer dan program pelatihan polisi.

Pemerintahan militer Thailand telah menjanjikan reformasi dan kembalinya ke pemerintahan demokratis, namun para kritikus mengatakan bahwa pihak militer telah membungkam kebebasan berbicara.

Yingluck yang menjadi perdana menteri perempuan pertama, diturunkan dari jabatannya dengan alasan penyelewengan kekuasaan pada Mei, beberapa hari sebelum kudeta yang mengakhiri kerusuhan politik selama berbulan-bulan. Sekitar 30 orang tewas dalam beberapa aksi unjuk rasa jalanan.

Larangan berpolitik dan kasus hukum terhadap Yingluck merupakan isu terbaru dalam kemelut politik Thailand selama 10 tahun yang menghadapkan Yingluck dan saudara lelakinya Thaksin yang juga mantan PM, dengan kelompok militer dan pendukung kerajaan yang melihat keluarga Shinawatra sebagai ancaman dan mencemooh kebijakan populis mereka.

Yingluck akan menghadapi dakwaan kriminal di Mahkamah Agung pada Februari, dan jika terbukti bersalah bisa dihukum penjara hingga 10 tahun.

(Uu.S022)



Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2015