Jakarta (ANTARA News) - Adagium bahwa demokrasi membutuhkan kesabaran kini sedang berlangsung dalam konstelasi politik mutakhir di Tanah Air.

Presiden Joko Widodo sebagai tokoh sentral dalam ketegangan konflik kepentingan yang terepresentasikan dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri dalam sorotan publik karena banyak pendukung Jokowi yang mulai meragukan kesanggupannya dalam mengelola konflik yang sedang terjadi.

Namun, ada juga yang melihat bahwa ketenangan Jokowi dalam menyikapi konflik kepentingan yang terepresentasi dalam institusi penegak hukum KPK-Polri merupakan siasat politiknya yang bersumber pada adagium di atas, bahwa demokrasi membutuhkan kesabaran.

Dalam pikiran publik, dugaan kriminalisasi terhadap komisioner KPK yang dilakukan elemen tertentu dalam tubuh Polri membutuhkan penanganan langsung, segera dan tegas dari Jokowi. Sebab dalam benak publik, sebagai Presiden yang membawahi Polri, Jokowi teramat mudah untuk mengatasi kriminalisasi jika dugaan kriminalisasi itu terbukti.

Namun, nyatanya, Jokowi tidak melakukan apa yang diharapkan publik pendukungnya. Malahan Jokowi membuat pernyataan yang dinilai pendukungnya terasa hambar karena sama sekali tidak ada pemihakan terhadap KPK. Jokowi hanya mengatakan bahwa KPK-Polri jangan sampai terjadi gesekan. Dan KPK-Polri harus memperlihatkan transparansi dalam menjalankan proses hukum terhadap tersangka.

Sampai pada titik ini, kesabaran publik pendukung Jokowi semakin meredup dan sebagian pendukung itu dengan cepatnya memandang Jokowi sedang di bawah tekanan parpol pendukungnya. Namun, langkah-langkah selanjutnya yang dilakukan Jokowi cukup memberi sinyal seperti apa sikapnya, dengan menjawab pesimisme publik lewat ikhtiar pembentukan tim sembilan dari kalangan tokoh independen.

Tim independen itu beranggotakan Syafii Maarif sebagai ketua, Jimly Asshidiqie sebagai wakil ketua, dan Hikmahanto Juwana menjadi sekretaris tim. Kemudian, Erry Riyana Hardjapamekas, Tumpak Hatorangan Panggabean, Bambang Widodo Umar, Oegroseno, Sutanto, dan Imam B Prasodjo sebagai anggota.

Hasil rapat yang dilakukan Tim Sembilan itu menghasilkan sejumlah rekomendasi yang disampaikan kepada Presiden Jokowi. Poin-poin rekomendasi itu adalah: Pertama, Presiden seyogyanya memberikan kepastian terhadap siapa pun penegak hukun yang berstatus tersangka untuk mengundurkan diri dari jabatannya demi menjaga marwah institusi penegak hukum, baik Polri maupun KPK.

Kedua, Presiden seyogyanya tidak melantik calon Kapolri yang berstatus tersangka. Ketiga, Presiden seyogyanya menghentikan segala upaya yang diduga merupakan kriminalisasi terhadap personel penegak hukun siapa pun, baik Polri maupun KPK dan masyarakat pada umumnya.

Keempat, Presiden seyogyanya memerintahkan Polri dan KPK untuk menegakkan kode etik terhadap pelanggaran etika profesi yang diduga dilakukan personel Polri atau pun KPK.

Kelima, Presiden harus menegaskan kembali komitmennya terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pada umumnya sesuai harapan masyarakat luas.

Dari poin-poin itu, yang sedang dinanti oleh publik adalah kelanjutan langkah yang diambil Jokowi untuk meredam ketegangan dan kegalauan yang kini berlangsung dalam politik di Tanah Air.

Apapun keputusan yang akan diambil oleh Presiden, harapan yang terpenting adalah jangan sampai lembaga pemberantas korupsi itu menjadi mandul apalagi bubar karena para komisioner dijadikan tersangka lewat apa yang disitilahkan oleh pendukung KPK dengan kriminalisasi.

Sebetulnya, sikap Jokowi mengajak KPK dan Polri untuk transparan dalam memproses hukum para tersangka, baik BG yang dijadikan tersangka oleh KPK, maupun BW yang dijadikan tersangka oleh polisi, merupakan pendidikan politik yang elegan.

Berkali-kali Jokowi menyatakan bahwa ketundukannya sebagai presiden hanya pada aturan hukum atau undang-undang. Jokowi tak mau publik melihatnya sebagai sosok kepala negara yang terlalu mudah menggunakan kewenangannya untuk mengakhiri konflik. Biar hukumlah yang berbicara.

Tampaknya, dalam benak Jokowi, publik akan tahu siapa yang akan benar dan siapa yang akan salah dalam menjalankan proses hukum terhadap tersangka, baik yang dilakukan oleh KPK maupun kepolisian.

Situasi yang dihadapi Jokowi dalam percaturan konflik antara KPK dan Polri tentu tidak mudah diselesaikan karena fakta-fakta yang terungkap lewat pernyataan para elite politik lewat pers memperlihatkan bahwa politisi pendukung Jokowi pun mempunyai sikap berseberangan dengan Presiden.

Serangan dari internal partai pendukung Jokowi kian mengeras, bahkan sampai pada intimidasi bahwa Jokowi dapat dimakzulkan jika melanggar undang-undang dengan tidak melantik Budi Gunawan yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tentu intimidasi pemakzulan semacam ini keluar dari sikap emosional sang elite politik dan masih bisa diperdebatkan keabsahan argumen pemakzulan itu.

Tampaknya, Jokowi kini sedang dalam situasi yang sulit, dan ungkapan paling pas untuk menggambarkan situasi yang dihadapi Jokowi adalah bahwa dia sedang menghadapi buah simalakama.

Namun, dari pengalaman politiknya yang meroket karena dukungan rakyat, pilihan paling pas buat Jokowi adalah mengambil keputusan berdasarkan kemaslahatan sebesar-besarnya bagi rakyat banyak, dengan risiko politik paling kurang menguntungkan bagi pribadinya.

Inilah ujian dilematis terberat yang dihadapi Jokowi dalam menduduki kursi kepresidenan selama tiga bulan pertama. Sebagai sosok yang dikenal karena kelugasan sikap dan kesederhanaan dalam hidupnya, Jokowi bisa mengandalkan nilai-nilai itu dalam mengambil keputusan krusial yang melibatkan dua institusi strategis di negeri ini. Dalam menyelesaikan masalah ini, di tataran filosofi sudah jelas: yakni KPK harus tetap kuat dan Polri makin berwibawa dan bersih dari oknum-oknum yang mencemarkan reputasi lembaga itu di mata publik.

Oleh M Sunyoto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015