Kairo (ANTARA News) - Mesir pada Sabtu (7/2) menyatakan negara itu "sangat prihatin" dengan perkembangan baru-baru ini di Yaman, dan mendesak semua partai politik agar menemukan penyelesaian politik bagi krisis tersebut.

"Duta besar Mesir di Yaman mengadakan komunikasi dengan berbagai kekuatan politik Yaman, serta menyeru mereka agar memberi perhatian lebih besar bagi negeri itu dan persatuan wilayahnya sebelum mempertimbangkan tindakan politik sempit apa pun," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Mesir Badr Abdel-Atty di dalam satu pernyataan.

Setelah kegagalan perundingan pimpinan PBB di kalangan kekuatan politik Yaman, kelompok Syiah Al-Houthi pada Jumat (6/2) mengeluarkan pengumuman konstitusional untuk melucuti Parlemen Yaman dan membentuk dewan presiden dengan lima anggota serta pemerintah peralihan.

Pengumuman kelompok gerilyawan tersebut, yang telah mengambil-alih Ibu Kota Yaman --Sanaa-- sejak September tahun lalu, ditolak secara luas oleh kekuatan politik di negara yang dirongrong kerusuhan itu, demikian laporan Xinhua.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Mesir tersebut mengatakan Kairo juga sedang mengadakan pembicaraan dengan negara lain Arab, terutama dengan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dan Liga Arab.

Pernyataan itu menegaskan perlunya untuk menghormati keinginan rakyat Yaman dan menanggapi "aspirasi demokratik sah" mereka.

Mesir juga mendesak semua warga Yaman agar mencela kerusuhan dan mencapai penyelesaian politik sejalan dengan hasil dialog nasional serta gagasan Teluk.

Pada Ahad (1/2) kelompok Al-Houthi menyampaikan ultimatum tiga hari bagi penyelesaian guna mengakhiri krisis politik, yang saat ini merongrong negara tersebut.

Kelompok gerilyawan itu, yang juga dikenal dengan nama Ansarullah dan berpusat di Provinsi Saada di bagian utara-jauh Yaman, telah memperluas pengaruh mereka ke arah selatan, setelah menandatangani perdamaian yang diprakarsai PBB dan kesepakatan pembagian kekuasaan pada 21 September 2014. Sebelumnya, mereka merebut ibu kota Yaman dengan menggunakan kekuatan.

Di dalam satu pernyataan yang dikeluarkan setelah konferensi nasional tiga-hari yang diselenggarakan di Sanaa, kelompok tersebut mengatakan "pemimpin revolusioner" akan melakukan "tindakan yang diperlukan" jika "pengalihan kekuatan gagal dilakukan secara damai".

Presiden Yaman Abd-Rabbu Mansour Hadi dan Perdana Menteri Khaled Bahah mengajukan pengunduran diri mereka pada penghujung Januari, di tengah pertikaian dengan kelompok Al-Houthi.

Setelah pengunduran diri mereka, negara Arab itu memasuki kevakuman keamanan total, yang bisa memberi peluang bagi kelompok gerilyawan itu untuk memperluas pengaruh mereka di Yaman.

Beberapa sumber di istana presiden mengungkapkan Hadi mungkin mencabut pengunduran dirinya jika kelompok Al-Houthi berhenti menuntut pembagian kekuasaan.

Namun kelompok Al-Houthi mengusulkan pembentukan Dewan Presidensial guna menggantikan Hadi dalam memerintah negeri tersebut.

Kelompok itu menolak rancangan undang-undang dasar yang membagi Yaman menjadi enam wilayah federal dan menuntut perubahan berdasarkan hasil dialog perujukan nasional yang berakhir pada Januari tahun lalu.

Pemerintah Yaman berada di ambang keambrukan setelah bentrokan mematikan dengan anggota Al-Houthi di Sanaa pada awal Januari.

(Uu.C003)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2015