Jakarta (ANTARA News) - Sabine Atlaoui, istri terpidana mati Sergei Atlaoui yang berasal dari Prancis, mengaku mengalami penyiksaan psikologis selama mengikuti proses hukum suaminya.

"Penyiksaan psikologis dialami oleh saya, keluarga, anak-anak dan Serge sendiri. Seperti waktu sidang pertama Peninjauan Kembali (PK) di Tangerang," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat yang juga dihadiri oleh Duta Besar Prancis untuk Indonesia Corinne Breuze.

"Sidang baru selesai dan seorang pegawai dari kejaksaan datang untuk bertemu dengan Serge yang masih di sel untuk menanyakan berapa ukuran bajunya, karena mereka ingin memesan baju yang akan dipakai untuk eksekusi, sedangkan itu masih sidang pertama," ucap Sabine.

Hal tersebut, menurut dia, merupakan wujud ketidakhormatan atas hak Serge Atlaoui.

Selain itu dalam sidang tersebut, kata Sabine, merupakan pertama kali anak-anaknya melihat ayah mereka diborgol.

"Itu merupakan gambar peristiwa yang sangat mengejutkan dan membawa trauma," kata Sabine.

Dia juga mengakui bahwa waktu pembesukan cukup terbatas, yaitu hanya diberi kesempatan dua hari dalam satu minggu dengan alokasi waktu selama dua jam.

"Dalam beberapa hari lagi saya akan pulang ke Prancis dengan rasa khawatir yang sangat mendalam, namun saya memiliki harapan pada upaya hukum yang masih diperiksa Mahkamah Agung (MA)," kata Sabine.

"Kami meminta keadilan, itu saja, dan saya rasa sah-sah saja bahwa kami hanya meminta agar keadilan ditegakkan," ucapnya.

Serge Atlaoui, warga negara Prancis, divonis mati pada 2007 oleh MA setelah dia bersama beberapa orang lainnya dinyatakan terlibat dalam pengoperasian pabrik ekstasi terbesar di Asia yang berlokasi di Cikande, Kabupaten Serang, Banten.

Pewarta: Roberto C. Basuki
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015