Jadi jelaslah bahwa sifat sakti, yang merupakan imbuhan pada Pancasila itu, sebetulnya artifisial belaka."
Jakarta (ANTARA News) - Adjektiva sangatlah rapuh sebagai penanda dalam jagat tanda linguistik. Kerapuhannya mengakibatkan para novelis berusaha mengelak darinya. 

Adjektiva yang demikian ini adalah jenis yang sarat nilai, yang subjektif atau yang kental berkaitan dengan rasa.

Ada adjektiva yang tak subjektif, bisa diukur dengan tingkat akurasi tinggi seperti misalnya kata sifat yang menandai warna-warna. 

Di sini, mata yang buta warna pun akan dengan akurat membedakan hitam dari putih.

Panas dan dingin tentu bisa diukur dengan ketepatan matematis. Sekalipun demikian, problem yang bermuara ke ranah relativisme bisa segera muncul ketika adverbia dihadirkan di dekatnya.

Agak, cukup, sangat, adalah tiga adverbia yang merelatifkan adjektiva yang bisa objektif tatkala berdiri sendirian.

Kata sifat yang sarat nilai, entah moral-etis, etiketis, entah agamis, jelas sangat subjektif. Puncak dari subjektivitas ajektiva dicetuskan Shakespeare lewat mulut tokoh rekaannya, Hamlet, yang penggalan kalimatnya berbunyi demikian: baik buruk itu tak ada, pikiran kita lah yang melahirkan demikian.

Bagi awam yang tak pernah mempelajari Ferdinand Saussure, biang linguis modern, mendengar atau membaca ucapan Hamlet itu bisa membuat mereka terkaget-kaget, bingung atau malah tak berminat memikirkannya. 

Mereka yang impulsif akan dengan spontan menyanggahnya dalam serentetan pertanyaan ini: mengasih makan orang lapar apa tidak bisa dibilang baik? Membunuh orang apa bukan buruk? Kesewenang-wenangan apa tak buruk, malah bisa lebih dari buruk, jahat.

Tentu ucapan hamlet itu tak harus dimaknai dalam konsep relativitas etis, yang biasa dirangkul oleh kaum nihilis bahkan kaum anarkis juga cenderung mengimaminya. 

Tapi dengan mencoba bersandar pada konsep hubungan penanda (yang menandai) dan petanda (yang ditandai), ucapan Hamlet itu bisa dibayangkan siluet kemungkinan kebenarannya.

Dalam pemahaman Saussure, yang sudah diakui sebagian besar penelaah lingkuistik modern, hubungan penanda dan petanda tidaklah selangsung seperti yang dibayangkan kalau orang memahami nama-nama dan objek-objek yang dinamai.

Penanda, yang berupa bunyi atau rangkaian bunyi, atau kata, harus mampir dulu di otak untuk diproses menjadi sebuah konsep dan dari sinilah kemudian asosiasi yang terbentuk dalam benak itu diorientasikan ke objek yang hendak dikaitkan. Ini baru menyangkut hubungan penanda dan petanda yang objektif. 

Bagaimana dengan penanda dan petanda yang tak berkaitan dengan objek-objek tapi berpautan dengan sesuatu yang subjektif?

Jika pemahaman hubungan tak langsung antara penanda dan petanda yang berlaku untuk sesuatu yang objektif sudah tertangkap, seseorang tak akan lagi kesulitan memahami hubungan penanda dan petanda dalam perkara subjektif.

Dengan demikian, baik atau buruk pastilah bukan baik atau buruk pada dirinya sendiri. Untuk membantu memahami masalah ini, baiklah diambilkan perbandingan kasus yang lebih mudah dicerna di sini. 

Dulu di era Orde Baru, publik sempat diberi tontonan (atau dagelan) politis. Pancasila, yang merupakan ideologi dasar Negara, secara objektif merupakan sekumpulan prinsip hidup berbangsa dan bernegara.

Kumpulan prinsip berpolitik itu bukanlah berupa objek riil, tapi objek abstrak, metafisik. Di sana ada sejumlah filosofi mulai dari prinsip humanism, demokrasi dan seterusnya. 

Dalam perjalanan politik, terjadilah pergolakan ideologis. Pemenang pergolakan itu mengambil alih panggung politik dan peraih hegemoni kebenaran.

Karena mendaku mengikuti dengan setia Pancasila, dan sang lawan politik dipersepsikan sebagai musuh yang merongrong Pancasila, terjadilah apa yang disebut sakralisasi Pancasila. Lalu diberilah embel-embel ajektiva sakti di belakang Pancasila.

Jadi jelaslah bahwa sifat sakti, yang merupakan imbuhan pada Pancasila itu, sebetulnya artifisial belaka. Tentu apa yang diucapkan Shakespeare itu tidak meruntuhkan prinsip absolutisme etis, yang menegaskan bahwa perbuatan baik atau buruk secara etis adalah baik atau buruk pada dirinya sendiri.

Membunuh itu buruk, adalah kebenaran etis. Apapun alasannya, membunuh itu buruk, demikian argumen yang sering didengar di telinga publik yang menyimak uraian etika. Tuhan itu selalu baik, adalah kesepakatan di antara para penelaah teologi atau tauhid.

Meskipun demikian, selalu ada yang menegaskan kebenaran etis maupun kebenaran teologis itu. Dalam mengatasi pertikaian yang tak ada ujung pangkalnya ini, sebaiknya jalan tengah yang bisa ditempuh adalah mengikuti nasihat Ernest Hemingway, peraih Nobel Sastra, yang bunyinya: tulislah apa pun sesuai dengan apa adanya. 

Dengan demikian laku apa yang membuat sesuatu atau seseorang berpredikat baik atau buruk, ya tulis atau katanya saja apa adanya. Jangan menghakimi, jangan menilai!

Jangan bilang ibu itu baik tapi bernarasilah ibu itu setiap pagi menyusui anaknya, memberi pakaian hangat dan memeluknya di kala sang bayi menangis. 

Tak perlulah menyebut mahasiswa itu santun tapi tunjukkan bahwa dia tak pernah melengos setiap bertemu dosen dan mempertimbangkan pilihan kata dengan sebelum berbincang.

Bertungkus-lumus atau bergulat dengan adjektiva juga dapat melahirkan pemahaman yang lebih dalam ketika seseorang harus berhadapan dengan orang lain dalam perbincangan masalah-masalah sensitif, yang beraroma keagamaan atau kesukuan. 

Setidaknya, pemahaman itu akan menghindarkan yang bersangkutan dari permusuhan yang tak seharusnya terjadi. 

Oleh M Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015