Beijing (ANTARA News) - Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan mekanisme dialog merupakan terbaik dalam menyelesaikan permasalahan di Laut Tiongkok Selatan.

"Perlu dipahami bahwa dialog adalah langkah terbaik untuk mencegah konflik. Meski kita melihat ada peningkatan eskalasi di Laut Tiongkok Selatan, dalam beberapa bulan silam, namun konflik kekerasan di wilayah itu menurun dalam beberapa tahun, karena komitmen dialog dari seluruh pihak," katanya saat menjadi pembicara dalam Forum keempat Perdamaian Dunia (World Peace Forum/WPF) 2015 di Beijing, Sabtu.

Dialog, tambah Yudhoyono, sangat efektif dan menjadi solusi terbaik. "Indonesia menerapkan hal tersebut dalam menyelesaikan konflik di Aceh, dalam gerakan separatis GAM selama 30 tahun," ungkapnya.

Selama konflik berlangsung, Upaya damai terus dilakukan hingga pada 2005 digelar dialog, para pemberontak dilucuti, separatisme berakhir dan Indonesia tetap bersatu, tutur Presiden keenam RI tersebut.

Situasi di Laut Tiongkok Selatan yang menjadi salah satu potensi konflik di Asia Pasifik, tetap memiliki peluang bagi terbangunnya kerja sama potensial antara negara-negara di sekitar Laut Tiongkok Selatan.

Secara umum ada beberapa pendekatan yang dapat menjadi pilar dalam membangun kerja sama yang dapat menghubungkan tantangan dan peluang, yaitu kerja sama ekonomi, kerja sama militer, kerja sama antarmasyarakat diantara bangsa-bangsa di Asia Pasifik.

Situasi di Laut Tiongkok Selatan, menghangat kembali ketika Tiongkok melakukan pembangunan karang beting di Kepulauan Spratly, membuat beberapa negara melontarkan kecaman. Tidak saja negara-negara yang memiliki klaim tumpang tindih seperti Filipina dan Vietnam, tetapi juga Amerika Serikat.

Konvensi Hukum Laut Internasional, United Nation Convention Law of the Sea 1982, tidak mengakui pulau buatan sebagai pulau yang memiliki wilayah, laut zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen.

Pewarta: Rini Utami
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015