ASEAN tidak mengambil sikap atas klaim-klaim masing-masing."
Jakarta (ANTARA News) - Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang di dalamnya Indonesia sebagai salah satu negara anggota, dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) masih berbeda cara pandang dan pendekatan untuk mengelola konflik di Laut Tiongkok Selatan.

Para pakar dan pengamat dari dalam dan luar negeri bertemu dalam forum "High Level International Workshop 2015: Managing South China Sea Conflict from ASEAN Perspective", yang diselenggarakan Center for South East Asian Studies (CSEAS) di Jakarta akhir pekan lalu.

Dalam acara yang dibuka oleh Menteri Luar Negeri Retno L. Marsudi dan sambutan oleh Sekjen ASEAN Le Luong Minh, para panelis memberikan pandangan mereka dalam tiga sesi tentang Perkembangan Terkini di Laut Tiongkok Selatan, ASEAN dan Laut Tiongkok Selatan, dan Mengelola Konflik dan Masa Depan Laut Tiongkok Selatan.

Berdasarkan data yang dikutip para pakar, LTS--yang dikenal di RRT sebagai Laut Selatan, di Vietnam sebagai Laut Timur dan di Filipina sebagai Laut Filipina Barat-- merupakan kawasan yang kaya akan ikan dan sumber daya hidrokarbon, yang juga menjadi rute tersingkat antara Samudera Hindia dan Pasifik Barat.

Perdagangan dunia senilai sekitar lima triliun dolar AS mengalir melalui kawasan ini. Terkait sumber daya hidrokarbon, kawasan LTS diperkirakan memiliki cadangan minyak tujuh miliar barrel dan gas alam sebanyak 900 trilun kaki kubik. CNOOC, perusahaan RRT, telah menanam modal sebesar 20 miliar dolar AS di kawasan LTS.

Dari 10 negara anggota ASEAN, empat di antaranya yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam merupakan pihak-pihak yang mengklaim sebagian dari kawasan laut itu adalah bagian dari wilayah mereka. Di sisi lain, RRT dan Taiwan juga merupakan dua pihak yang mengklaim (claimants).

Filipina, Vietnam, RRT dan Taiwan mengklaim semua wilayah Kepulauan Spratly. Taiwan menduduki Taipin/Itu Aba, yang merupakan pulau terbesar di Spratly. Klaim Taiwan di LTS dikatakan sama dengan apa yang diklaim RRT. Malaysia mengklaim hanya beberapa dari bagian selatan Spratly. Brunei tidak mengklaim pulau-pulau di Spratly, tetapi selalu disebut sebagai salah satu dari empat pihak dari ASEAN yang mengklaim.

Brunei terlibat dalam sengketa LTS karena wilayah zona ekonomi eksklusif 200 mil-nya tumpang tindih dengan wilayah sembilan garis yang diklaim RRT.

Klaim yang tumpang tindih kedaulatan dan jurisdiksi tersebut menimbulkan ketegangan-ketegangan. Filipina dan Vietnam khususnya memandang RRT bertindak agresif di LTS sehingga menimbulkan insiden-insiden.

ASEAN menghadapi kritik internasional karena dianggap "gagal" mencegah ketegangan-ketegangan di LTS dan memberikan dukungan bagi para anggotanya yang terlibat dalam sengketa tersebut, kata Dr. Termsak Chaermpalanupap, salah seorang panelis dari ISEAS Singapura.

"ASEAN tampak menaruh harapan besar akan membaiknya situasi mengenai realisasi Tata Perilaku (COC) ASEAN-RRT di LTS," katanya.

Prof. Dr. Makarim Wibisono memaparkan hubungan ASEAN dan RRT sejak keduanya meletakkan fondasi kuat untuk saling memahami dan menjalin persahabatan dalam kerangka dialog pada tahun 1991. Kedua pihak membuat persetujuan untuk membentuk Kawasan Bebas Perdagangan ASEAN-RRT (tahun 2002), perjanjian Perdagangan Barang dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa (tahun 2004), Perjanjian mengenai Perdagangan dalam Bidang Jasa (tahun 2007) dan Perjanjian Investasi (tahun 2009).

Dia mengatakan persentase nilai perdagangan RRT dalam perdagangan ASEAN pun naik dari 4,2 persen pada tahun 1995 menjadi 11,3 persen pada tahun 2008.

Terkait dengan sengketa di LST, ASEAN dan RRT telah menandatangani "Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea" pada 4 November 2002. Deklarasi ini yang disingkat dengan DOC dipandang ASEAN sebagai terobosan bersejarah untuk mengatasi atau mengelola sengketa di kawasan itu. Namun keinginan ASEAN untuk memiliki COC yang mengikat dengan RRT belum juga terwujud karena masih ada perbedaan di antara kedua pihak mengenai ruang lingkup suatu COC.

"Untuk membuat draf garis besar bagi implementasi DOC, kedua pihak menghabiskan waktu betahun-tahun," kata Termsak.

Dari perspektif ASEAN, kata dia, suatu COC sangat dibutuhkan untuk melengkapi DOC mencegah aksi-aksi sepihak baru yang akan merumitkan situasi dan menimbulkan ketegangan-ketegangan baru di LST.

Proyek kerja sama


Sekjen ASEAN Le Luong Minh mengatakan DOC menyediakan platform bagi proyek-proyek kerja sama dan kegiatan-kegiatan ASEAN-RRT di kawasan-kawasan maritim seperti perlindungan lingkungan hidup, keselamatan komunikasi dan navigasi di laut, operasi SAR dan memerangi kejahatan transnasional

Namun, katanya, hingga kini pelaksanaannya masih sangat terbatas karena sudah ada klaim sepihak dengan membuat peta wilayah sembilan garis.

"Sesuai dengan implementasi DOC, sejak 2013 ASEAN telah secara aktif mengikutsertakan RRT dalam konsultasi mengenai COC," kata Minh.

Tahun lalu ASEAN dapat mengajak RRT dalam dua konsultasi mengenai COC di tingkat pejabat senior dan tiga konsultasi di tingkat kelompok kerja.

Ralf Emmers dari Nanyang Technological University di Singapura mengatakan apa yang diusahakan untuk dicapai di LTS ialah merundingkan suatu COC atas dasar sikap netralitas daripada berusaha menyelesaikan sengketa kedaulatan di antara para pihak yang mengklaim.

"ASEAN tidak mengambil sikap atas klaim-klaim masing-masing," katanya.

Sementara pihak-pihak yang mengklaim di Asia Tenggara ingin sekali suatu COC dapat segera dirampungkan supaya melindungi kepentingan mereka.

Emmers berpendapat bahwa masih dapat diperdebatkan apakah RRT serius merundingkan suatu COC atau malah mengulur-ulur waktu.

Dari apa yang dilakukan, RRT sesungguhnya menghendaki COC dibuat tahap demi tahap dan lebih suka fokus pada perbaikan pelaksanaan DOC.

Menurut Carl Thayer dari Universitas New South Wales, Australia, ASEAN harus lebih proaktif dalam membuat konsensus di antara anggotanya sebagai bagian dari proses pembangunan komunitas politik-keamanan ASEAN.

"ASEAN juga hendaknya mendorong para anggotanya yang mengklaim wilayah di LTS untuk memenuhi standar transparansi tertinggi terkait dengan apa yang mereka klaim," kata Thayer.

Sementara sedikit hasil yang dicapai dalam pembicaraan ASEAN-RRT mengenai suatu COC, dalam perkembangan beberapa bulan terakhir RRT melakukan reklamasi tanah di Spratly dan mendapat reaksi keras dari Filipina.

Pernyataan akhir Konferensi Tingkat Tinggi ke-26 ASEAN di Kuala Lumpur pada 27 April 2015 menyebutkan bahwa reklamasi tanah oleh RRT "telah mengikis kepercayaan dan bisa mempengaruhi perdamaian, keamanan dan stabilitas".

"Langkah RRT akan mengganggu sentralitas, solidaritas dan kredibilitas ASEAN jika perhimpunan ini tidak menanggapi...semua usaha kita dalam membangun komunitas regional yang bertujuan mempromosikan dan melindungi kesejahteraan rakyat di masa depan, dan ini hanya dapat dilakukan dalam lingkungan aman dan stabil," kata Menteri Luar Negeri Filipina Albert del Rosario.

Filipina sudah mengajukan sengketa LTS ke Mahkamah Internasional dan Vietnam berencana melakukan hal sama. Sayang RRT belum berniat mengajukan bukti atas klaimnya tersebut di LTS di arbitrasi internasional itu.

"Perjanjian maritim antara Indonesia dan Filipina untuk menyelesaikan masalah bisa menjadi rujukan menyelesaikan sengketa LTS dan mendapat pujian dari masyarakat internasional," kata Veeramalla Anjaiah dari harian berbahasa Inggris the Jakarta Post.

"Jika seluruh enam pihak yang mengklaim merujuk kepada UNCLOS, tak akan ada masalah di LTS."

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015