Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) mengkritik pemotongan anggaran dari sejumlah kementerian/lembaga sehingga dinilai mengurangi porsi anggaran bagi beragam program yang sebenarnya penting untuk memberdayakan masyarakat dan kemandirian ekonomi nasional.

"Setidaknya 12 kementerian/lembaga menjadi korban Menteri Keuangan karena mengalami pemotongan anggaran hingga 70 persen dari APBN-P 2015," kata Analis AEPI Dani Setiawan kepada Antara di Jakarta, Kamis.

Padahal, menurut Dani, kementerian/lembaga yang mengalami pemotongan tersebut umumnya menjadi tulang punggung dalam melaksanakan agenda pembangunan daerah dan menegakkan kemandirian nasional.

Anehnya, lanjutnya, di saat kementerian lain mengalami pemotongan anggaran, Kementerian Keuangan justru mengalami kenaikan anggaran sekitar 36 persen dari APBN-P 2015.

Dani juga mengritik pemaksaan penggunaan pinjaman luar negeri seperti dapat terlihat dari kasus yang menimpa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang menggunakan dana Rp1,8 triliun dari Bank Dunia akibat pemotongan anggaran oleh Kementerian Keuangan.

"Ini menimbulkan beban anggaran yang amat besar, karena utang luar negerilah selama ini program-program pembangunan di Indonesia memberi jalan bagi berlangsungnya praktek penguasaan modal asing terhadap sektor perekonomian nasional," paparnya.

Untuk itu, ujar dia, revolusi mental yang diusung oleh Presiden Joko Widodo pertama-tama dinilai harus menyasar Kementerian Keuangan untuk mengembalikan kepada garis Pancasila dan konstitusi dalam menjalankan kebijakan perekonomian nasional.

Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan subsidi hanya sekitar sembilan persen dari anggaran yang terdapat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2016.

"Subsidi tahun depan kira-kira hanya 9-10 persen (dari anggaran pemerintah)," kata Jusuf Kalla dalam acara Arahan dan Dialog dengan Wapres di Gedung Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta, Rabu (27/9).

Dalam paparan Wapres disebutkan total subsidi mencapai sekitar sembilan persen dari RAPBN 2016. Jumlah tersebut terbagi atas tiga persen subsidi BBM, dua persen subsidi listrik, dan empat persen subsidi nonenergi.

Selain itu, berdasarkan amanat konstitusi/UUD 1945 dan UU 36/2009 tentang Kesehatan didapatkan pembagian yaitu pengeluaran pendidikan 20 persen dan kesehatan 5 persen dari RAPBN.

Sedangkan total anggaran terikat (non-diskresi) mencapai 81 persen dari RAPBN 2016. Dengan demikian, kendati RAPBN 2016 mencapai Rp2.095 triliun, tetapi 81 persen dari anggaran merupakan anggaran terikat (non-diskresi), sehingga Pemerintah Pusat hanya mempunyai diskresi terhadap sekitar 19 persen atau sekitar Rp398 triliun.

Untuk itu, dalam acara bertajuk "Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran dalam rangka Pengendalian Pembangunan" itu, Wapres mengemukakan bahwa kecermatan dan ketepatan dalam implementasi anggaran merupakan kunci sukses peran APBN dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015