Sydney (ANTARA News) - Australia tengah melakukan negosiasi kesepakatan dengan Filipina, untuk memindahkan pencari suaka yang ditahan tanpa batas waktu jelas di rumah-rumah tahanan di pulau terpencil dan miskin, kata Menteri Imigrasi Australia, Jumat.

Pencari suaka sudah lama menjadi isu politik di Australia, meski pun negara tersebut tidak pernah menampung pengungsi dalam jumlah seperti yang saat ini membanjiri Eropa untuk menghindar dari konflik di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Pemerintahan Australia yang silih berganti, bertekad menghentikan pencari suaka sebelum mencapai negara itu, sebisa mungkin mengusir balik kapal-kapal mereka ke Indonesia atau mengirimkan mereka ke kamp-kamp tahanan di pulau Manus di Papua Nugini dan Nauru, pulau kecil di Pasifik Selatan.

Kondisi buruk dalam kamp, termasuk laporan mengenai pelecehan sistemik terhadap anak-anak, menuai kritikan keras dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kelompok hak asasi manusia.

Mantan perdana menteri Tony Abbott yang tersingkir pada September, menandatangani perjanjian dengan Kamboja pada 2014, di mana negara itu akan mendapatkan tambahan bantuan 40 juta dolar Australia jika menerima pencari suaka, berapa pun jumlahnya.

Namun, perjanjian tersebut goyah karena Kamboja mengancam menarik diri dari kesepakatan setelah mereka hanya menerima empat orang pengungsi, dari ratusan orang yang ditahan di PNG dan Nauru.

Menteri Imigrasi Peter Dutton mengatakan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop telah berbicara dengan timpalannya dari Filipina mengenai kesepakatan serupa, namun menolak menjelaskan lebih jauh.

"Kami mempunyai kesepakatan bilateral dengan Kamboja. Jika kami bisa membuat kesepakatan lain dengan negara lain, kami akan melakukan itu," kata Dutton kepada wartawan.

"Jika kami menandatangani perjanjian demi kepentingan negara kami dan dari perspektif Filipina, negara mereka, kami akan sampai pada titik itu," katanya.

Mahkamah Agung Australia pekan ini mulai melakukan pengkajian untuk melihat apakah kebijakan pengiriman pencari suaka ke Nauru untuk jangka waktu lama melanggar konstitusi, tantangan utama bagi kebijakan kontroversial tersebut.

Perdana Menteri baru Australia Malcolm Turnbull mengatakan pada September, ia prihatin mengenai kondisi di dalam kamp namun ia tidak memberikan indikasi adanya perubahan besar dalam kebijakan itu.

Australia mempertahankan kebijakan penahanan itu dan menyebutnya sebagai langkah penting untuk menghentikan kasus kematian di lautan. Tidak ada satu pun pencari suaka yang diproses di kamp-kamp di Nauru dan PNG layak untuk direlokasi di Australia, meski pun mereka dinyatakan sebagai pengungsi.

Penyelidik independen PBB menunda kunjungan resminya ke Australia pada September, dan mengutip kurangnya kerja sama pemerintah serta pembatasan hukum yang "tidak bisa diterima".

Beberapa investor dalam perusahaan yang mengelola kamp-kamp pengungsi, Transfield Services Ltd juga mengatakan mereka akan memberi tekanan untuk mendapatkan transparansi serta pengawasan, demikian laporan Reuters.

(Uu.S022)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2015