Jakarta (ANTARA News) - Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi mengaku terkejut karena Badan Legislasi DPR dan pemerintah menyetujui revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2015 sebagai inisiatif DPR.

"Saya cukup terkejut mendengar bahwa revisi UU KPK masuk Prolegnas 2015, padahal beberapa waktu lalu ada kesepakatan yang disampaikan presiden melalui pembantunya, bahwa revisi UU UU tidak dilakukan pada tahun ini," kata Johan di gedung KPK Jakarta, Senin.

Pada Jumat (27/11), rapat Baleg bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia HAM Yasonna Laoly menyetujui bahwa pemerintah mengambil alih RUU "Tax Amnesty" menjadi usul inisiatif pemerintah. sebagai gantinya, revisi UU KPK yang awalnya merupakan usul pemerintah dijadikan usul inisiatif DPR.

"Revisi UU KPK semestinya dilakukan untuk memperkuat KPK, bukan untuk melemahkan KPK. Itu juga suara yang sama pernah disampaikan oleh Presiden Jokowi. Jadi kalau semangat revisi ini adalah untuk memperlemah tentu harus ditolak, apalagi sempat beredar draft revisi UU KPK yang diterima oleh teman-teman media, dimana ada sejumlah pasal yang intinya memperlemah KPK," tambah Johan.

Dalam usulan draft revisi UU KPK pada Oktober lalu, setidaknya ada 18 butir perbedaan antara konsep revisi yang diajukan oleh fraksi-fraksi DPR dengan UU 30 tahun 2002 yang menjadi landasan hukum KPK saat ini.

Sejumlah hal yang penting misalnya (1) KPK diamanatkan untuk hanya fokus untuk melakukan upaya pencegahan dan menghilangkan frase pemberantasan korupsi; (2) KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan (pasal 5); (3) Penghilangan wewenang penuntutan oleh KPK maupun monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara sebagaimana pasal 7 butir d yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau penanganannya di Kepolisian dan/atau kejaksaan mengalami hambatan karena campur tangan dari pemegang kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif atau legislatif.

"Misalnya KPK tidak boleh lagi punya kewenangan tuntutan, KPK umurnya hanya dibatasi 12 tahun. Ini kan slogannya memperkuat, tapi kalau isi draf revisinya seperti itu artinya kan memperlemah, kalau menurut saya kalau draft revisi itu yang dilakukan memperlemah," tambah Johan.

Johan pun menyerahkan revisi tersebut ke Presiden Joko Widodo dan DPR.

"Revisi atau tidak direvisi itu adalah tergantung suara DPR dan presiden, kalau legislatif dan eksekutif itu suaranya sudah sepaham merevisi ya itu yang terjadi, tapi kan ada publik yang mengawal itu," tambah Johan.

Sedangkan Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji bahkan mengingatkan komitmen awal pemerintah terhadap KPK.

"Bila dalam proses pembahasan dengan DPR akan mengarah pelemahan, pemerintah dan KPK berkomitmen untuk mempertimbangkan kelanjutan atau tidaknya membahas revisi tersebut. Kami harapkan dinamika politik di lembaga legislatif tidak memberikan hasil sebagai dilation rules bagi keberlangsungan dan eksistensi kelembagaan KPK," kata Indriyanto.

Indriyanto mengatakan sebenarnya sudah ada komitmen dengan pemerintah bahwa pembahasan akan dilakukan pada 2016.

"Mengingat tahun ini bukan waktu yang tepat dan tidak kondusif. Selain itu bila ada revisi, KPK hanya setuju atas usulan beberapa poin dari KPK, bukan draft usul pemerintah/DPR, bahkan pemerintah sudah sepakat hanya akan usul revisi atas draft usul yan diberikan KPK," tambah Indriyanto.

Pimpinan KPK sendiri sudah pernah menolak usulan-usulan untuk dilakukaknya revisi UU KPK yang dinilai melemahkan KPK pada 7 Oktober 2015.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015