Jakarta (ANTARA News) - Angka 100 bagi banyak orang dianggap istimewa. Contohnya, kinerja seorang presiden atau pemimpin baru diukur dari hasil kerjanya 100 hari pertama. Karena itu, banyak calon pemimpin yang membuat program 100 hari pertama saat berkampanye, termasuk di Indonesia. Bagi orang Jawa lebih khas lagi. Ada selamatan 100 hari kematian, disebut "nyatus" (memperingati hari ke seratus).

Tahun 2045 RI akan berusia 100 tahun. Prof. Dr. Subroto, ekonom sepuh Indonesia, memprediksi Indonesia Raya Sejahtera baru terwujud 2045 dengan syarat:  ekonomi tumbuh 7 persen per tahun mulai 2016.

Hitungannya, jika tumbuh 7 persen per tahun, income per kapita setiap 10 tahun akan dua kali lipat. Income per capita Indonesia 2045 akan mencapai sekitar $ (dolar AS) 28.000. Tahun 2016 ini angkanya masih $ 3.500, kita tergolong bangsa miskin. Dengan $ 28.000, Indonesia akan tergolong bangsa maju. Singapura saat ini telah mencapai pendapatan per kapita $54.000 atau 18 kali pendapatan rakyat Indonesia.

"Saya ‘ngenes’ (putus asa, meratapi nasib) jika berada di Singapura yang kaya raya," kata Subroto, di depan pertemuan GPP (Gerakan Pemantapan Pancasila) pertengahan Januari lalu.

Ia menggugah "greget" (semangat) kita untuk bangkit mengejar ketertinggalan dan mengatasi kesejangan antara penduduk  kaya  dan miskin yang semakin menganga melalui pembangunan semesta atau menyeluruh (inclusive development).

Diakuinya, selama 71 tahun Indonesia sebagian besar rakyat Indonesia tidak diikutkan dalam pembangunan. Mereka ada di dasar piramida (at bottom of pyramide). Proses "trickle down effect" atau ada kucuran rejeki dari atas tidak terjadi. "Perlu kebijaksanaan "bottom up" dan "top down", sehingga terjadi proses "pushing up" (mendorong ke atas)," katanya.

Untuk mencapai  pertumbuhan 7 persen per tahun, tentu ada syaratnya. Mengacu kepada trilogi pembangunan rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, syarat pertama adalah stabilitas, lalu pertumbuhan dan kemudian pemerataan.

Tanpa stabilitas tidak mungkin akan melakukan pembangunan yang berdampak pertumbuhan ekonomi. "Kalau  tidak ada pertumbuhan, apa yang akan diratakan, kemiskinan? He, he, he," begitu Pak Harto (alm) menjelaskan.

Prof Subroto adalah salah satu tim ekonomi dan arsitek pembangunan Orde Baru di bawah koordinasi Menko Ekuin/Ketaua Bappenas, Prof. Dr. Wijoyo Nitisastro (alm). Dalam era Orba dikenal Repelita (Rencana Pembangunan Lima tahun) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang, 25 tahunan. Itu merupakan kelanjutan dari Renacana Pembangunan Semesta Berencana berdasar GBHN (Garis2 Besar Haluan Negara) yang dicanangkan Presiden Soekarno.

Pemerintah Jokowi-JK dinilai Subroto telah berhasil melakukan kebijaksaaan stabilisasi dengan tingkat inflasi tidak lebih 5 persen dan kurs rupiah terhadap dolar AS pada kisaran Rp. 13.800. "Ini perlu diikuti kebijakan rehabilitasi, terutama di bidang infrastruktur dengan pembuatan jalan, pelabuhan, bandar udara dsb.  Sesudah kelihatannya hasilnya, perlu dilakukan langkah ketiga, yakni melaksanakanpembangunan semesta berdasar Pancasila," katannya.

Antara 2016-2025 harus digerakkan empat mesin pembangunan: modal infrastruktur fisik keras dan lunak, SDM (sumber daya manusia), SDA (sumber daya alam) dan ilmu pengetahuan. Kemudian, Repelita mulai 2025-2050. Tujuannya, untuk mengatasi ketimpangan antara minoritas kaya dan mayoritas miskin dalam rangka mewujudkan masyarakat Pancasila.

Ada yang khawatir, RI keburu bubar sebelum 2045, jika ketimpangan itu tidak segera diatasi. Semoga berkah dan rahmat Allah terus mencurahi bangsa Indonesia seperti bunyi Pembukaan UUD 1945, sehingga RI tetap eksis.

*) Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA (1998-2000)

Oleh Parni Hadi*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016