Kami bukan organisasi agama. Warga kami tidak hanya beragama Islam. Organisasi ini bukan agama."
Jakarta (ANTARA News) - Pemulangan ribuan mantan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) ke daerah asal masing-masing menjadi pilihan terakhir untuk menghindari bentrok dengan warga Kabupaten Mempawah maupun daerah lainnya di Provinsi Kalimantan Barat.

Pemerintah beranggapan bahwa pemulangan paksa warga mantan Gafatar tersebut harus diambil karena menyangkut keselamatan nyawa manusia.

Polda Kalbar melalui Polres Mempawah bersama pemerintah daerah telah mengumpulkan dan menjaga aset-aset milik warga eks-Gafatar yang tertinggal di Mempawah, di antaranya berupa 94 unit kendaraan roda dua dan tiga unit roda empat serta enam sapi.

Penanganan terhadap mantan anggota Gafatar kini juga menjadi "pekerjaan rumah" tersendiri bagi pemerintah daerah yang menjadi tempat asal mereka.

Di Jawa Timur, misalnya, sejumlah daerah ada yang merasa keberatan menerima eks-anggota Gafatar karena secara status kependudukan, banyak dari mereka yang sudah berpindah alamat.

Sementara itu, dana cadangan yang dimiliki pemda, seperti Jatim juga sangat minim jika harus menanggung biaya hidup ratusan eks-Gafatar.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menyatakan siap menyediakan lahan pertanian untuk para eks-pengikut Gafatar jika ingin bertransmigrasi.

"Kalau mau ikut transmigrasi, kita siapkan lahan-lahannya. Di Kalimantan ada, di Sulawesi, Sumatera, bahkan Papua sekalipun. Akan tetapi, ada syarat khusus jika para eks Gafatar tersebut ingin ikut transmigrasi," kata Menteri DPDTT Marwan Jafar.

Syarat itu, yakni: pertama, mereka tidak boleh kembali menyebarkan paham-paham yang ada di ormas tersebut; kedua, persoalan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila harus sudah selesai.

"Kalau sekarang, negara dalam negara, bahkan mereka punya pemerintahan sendiri. Para mantan pengikut Gafatar tersebut harus tunduk pada pemerintah dan cinta Tanah Air," katanya.

Selain itu, jika para mantan pengikut Gafatar tersebut mengikuti transmigrasi, mereka harus membaur. Jika dikelompokkan kembali, dikhawatirkan mereka akan melakukan tindakan serupa.

Bukan solusi
Sejumlah kalangan menilai pemulangan eks-anggota Gafatar bukanlah solusi terbaik untuk mempersempit perkembangan organisasi yang telah dibubarkan tersebut, mengingat mantan pengikut Gafatar merupakan korban tipu daya petinggi dan pengurusnya.

Upaya pemerintah memulangkan ribuan mantan anggota Gafatar dari Mempawah ke daerah asalnya masing-masing juga dinilai tidak efektif.

Ketua Komnas HAM Nur Kholis mengatakan bahwa pemerintah seharusnya menjadi mediator dan fasilitator dialog dalam menangani kasus kekerasan yang menimpa anggota kelompok Gafatar tersebut.

"Tidak ada cara lain selain dialog. Ada ribuan orang bermukim di suatu wilayah. Apa yang dilakukan? Ya, harus dilindungi. Ada aspek hak ekonomi, hak membangun relasi sosial, dan hak budaya yang harus dilindungi," ujar Nur Kholis.

Menurut dia, setiap warga negara mempunyai hak budaya untuk membangun relasi dengan lingkungan sekitarnya.

"Jadi, ketika ada konflik, pemerintah seharusnya menjadi penengah, bukan justru malah memaksa orang untuk pindah dari tempat tinggalnya," katanya.

Gafatar yang berdiri pada tanggal 14 Agustus 2011 disebut banyak pihak memiliki keterikatan dengan NII lewat Ahmad Mussadeq. Mussadeq membentuk Al Qiyadah Al Islamiyah pada tahun 2000 sampai dibubarkan pada tahun 2007 setelah aliran yang dibawanya itu dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Mussadeq tampaknya masih memiliki pesona di mata para pengikutnya meski ajaran Mussadeq sudah dinyatakan sesat.

Buktinya pada tahun 2010, figur yang sejak awal mengaku menerima wahyu Tuhan lewat Malaikat Jibril ini mendirikan kembali organisasi serupa dengan mendirikan Komunitas Millah Abraham (Komar).

Mabes Polri telah menggolongkan organisasi Gafatar sebagai kelompok berbahaya.

"Kelompok ini berbahaya makanya dilarang MUI. Gerakan yang mengatasnamakan agama, tetapi tidak sesuai agama, itu berbahaya. Bukan menyerang fisik, melainkan ideologi. Mereka (Gafatar) mengaku Islam, tetapi tidak salat, tidak puasa, tidak naik haji, bahaya dari sisi ideologis," kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Charliyan.

Pihak Gafatar menolak dikatakan sebagai organisasi keagamaan yang berbahaya. Juru bicara warga eks-Gafatar Wisnu Windhani mengatakan bahwa pihaknya berada di Kalimantan Barat hanya ingin bertani, dan menjadikan Borneo (Kalimantan) sebagai lumbung pangan nasional.

"Kami menanam padi, menanam sayur-mayur, melakukan kegiatan untuk kedaulatan pangan, tetapi kelihatannya di Kalimantan pun kami tidak bisa diterima. Kami tidak tahu negeri mana lagi yang mau menerima kami," katanya.

Ia menegaskan bahwa organisasi Gafatar semata-mata organisasi sosial dan bukan organisasi agama. "Kami bukan organisasi agama. Warga kami tidak hanya beragama Islam. Organisasi ini bukan agama," katanya.

Oleh Arief Mujayatno
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016