Jakarta (ANTARA News) - Keresahan merebak di kalangan petani Australia. Rasa galau itu menjalar seiring dengan kenyataan bahwa produk mereka terancam produk impor murah.

Kisah ini boleh jadi sangat akrab dengan kondisi di Tanah Air Indonesia, tetapi Australia punya cerita yang sedikit berbeda.

Seperti dikutip dari Biro Statistik Australia (ABS), Senin, industri pertanian di Australia pada periode 2014--2015 bernilai 53,6 miliar dolar Australia atau setara dengan Rp534,7 triliun (1 dolar Australia = Rp9.975,00). Angka ini naik Rp28 triliun dibanding tahun sebelumnya, dengan pertumbuhan signifikan pada budi daya sorgum yang relatif banyak dipakai untuk pakan ternak.

Namun, di balik pertumbuhan nilai industri pertanian, khusus untuk industri sayuran Australia justru kemerosotan terjadi, demikian disampaikan ekonom dari asosiasi industri sayuran AUSVEG Andrew Kruup.

Jumlah lahan untuk menanam sayuran telah menyusut 12.000 hektare sepanjang tahun kemarin, menyebabkan penurunan Rp1,6 triliun terhadap nilai industri sayur-mayur Australia.

Lebih lanjut Andrew Kruup, seperti dilansir laman ABC Rural, memaparkan pada periode 2014--2015 jumlah budi daya sayur anjlok 15 persen. Produksi jamur amblas 29 persen, sementara paprika dan tomat turun 12 persen.

Menurut dia, kondisi ini terjadi akibat produk-produk Australia yang makin kalah bersaing dengan beraneka produk impor dari Tiongkok, Italia, dan Amerika Serikat.

"Sepanjang tahun finansial 2014--2015 kita melihat impor produk sayur negara ini naik 7 persen, dan ini mulai mengancam industri domestik, selain pula menjadi penyebab menyusutnya besaran industri sayur negeri kami," katanya.

Kenyataan pahit ini terjadi di tengah impian Australia menjadi pengekspor produk-produk hortikultura berkualitas tinggi.

Sentra-sentra produksi sayur mayur di negara bagian Queensland, New South Wales, Victoria, dan Australia Barat mengalami penurunan produksi.

"Petani Australia sulit bersaing ketika harus berhadapan dengan produk impor yang lebih murah di pasaran," tambah Kruup yang juga dikutip oleh kantor berita AAP.

Kalangan industri sayur di Australia mendesak agar pemerintah bisa membantu menurunkan biaya produksi, kemudian meningkatkan daya saing produk di pasar impor.

AUSVEG menyadari sayur yang ditanam di Australia memiliki kekuatan merek sebagai produk yang berkualitas tinggi dan ramah lingkungan. Akan tetapi, harga yang relatif mahal sering membuat pembeli "kabur".

Australia mengimpor hampir 200.000 ton sayur dari Italia, Tiongkok, dan Amerika Serikat pada tahun 2014--2015. Sementara itu, pada periode sebelumnya (2013--2014) volume impor naik 12 persen ke Rp7,56 triliun dan ekspor bertambah 4 persen ke Rp2,55 triliun.

Defisit pada perdagangan komoditas sayur-mayur ini telah berlipat ganda dalam kurun waktu 5 tahun. Australia pernah menikmati surplus untuk perdagangan produk sayuran 9 tahun yang silam.

Impor sayur terbagi menjadi tiga jenis utama: produk olahan (naik 19 persen pada tahun 2012--2013), sayuran beku (naik 12 persen), dan sayur segar (turun 3 persen).

Yang mendominasi komoditas impor Australia adalah produk olahan, yang bila digabungkan dengan produk beku menguasai 75 persen pasar sayur impor.

Dari mana produk-produk impor ini berasal? Selandia Baru, Tiongkok, dan Amerika Serikat menyumbang 63 persen total produk sayur impor di Australia.

Menyitir data AUSVEG yang memuat 12 negara utama sumber impor pada periode 2013--2014, produk impor dari Selandia Baru naik 18 persen (Rp1,86 triliun), dari Italia melonjak 36 persen (Rp1,1 triliun), dan Tiongkok justru turun 2 persen atau setara dengan Rp20 miliar (Rp1,07 triliun).

Selain tiga negara tadi, ada Amerika Serikat (Rp717 miliar), Belanda (Rp440 miliar), Thailand (Rp288,7 miliar), Belgia (Rp235,7 miliar), Turki (Rp212 milar), Peru (Rp181,5 miliar), Meksiko (Rp151,9 miliar), India (Rp138,5 miliar), dan Spayol (Rp136,7 miliar) sebagai negara-negara sumber impor produk sayuran di Australia.


Bagaimana dengan peta ekspor sayuran Australia?

Volume sayur olahan yang diekspor Australia anjlok 15 persen pada periode 2013--2014 meskipun produk segar dan beku naik masing-masing 3 dan 5 persen. Produk sayur segar Australia mendominasi ekspor sebanyak 62 persen dari total nilai perdagangan, dan tiga besar negara pembeli adalah Jepang (Rp464,8 miliar), Selandia Baru (Rp309,4 miliar), dan Singapura (Rp256,6 miliar).

Tiga negara itu telah menjadi tujuan ekspor paling utama sejak 9 tahun terakhir. Akan tetapi, pada periode 2013--2014, ekspor sayuran Australia ke Jepang dan Selandia Baru turun masing-masing 9 dan 4 persen, sementara volume ekspor ke Singapura naik 11 persen.

Jepang adalah negara tujuan ekspor sayuran Australia terbesar dengan porsi 18 persen dari total ekspor.

Sementara itu, di dalam daftar 12 negara tujuan ekspor sayuran Australia, terdapat Uni Emirat Arab di peringkat empat (Rp232,7 miliar), diikuti oleh Malaysia di posisi lima (Rp151 miliar), Belanda di nomor 6 (Rp114,5 miliar), dan Indonesia di peringkat tujuh (Rp108,5 miliar).

Thailand berada di posisi delapan dengan nilai ekspor Rp90,8 miliar, Perancis (Rp87,1 miliar), Jerman (Rp85,7 miliar), Hong Kong (Rp76,6 miliar), dan Arab Saudi (Rp70,5 miliar).

Oleh Ella Syafputri
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016