Carl Gustav  Jung lahir pada 26 Juli 1875 di Keswil, kota kecil di sudut Swiss.

Jung adalah anak laki-laki satu-satunya dari sebuah keluarga yang unik. Ayahnya, Paul Jung adalah pendeta dan menggemari dunia mistik.

Jung mengaku lebih dekat dengan ayahnya karena ibunya, Emilie, merupakan perempuan problematik dengan dua kepribadian.

Di satu sisi ibunya adalah sosok yang realistis, praktis dan hangat. Di sisi lain emosinya kadang tidak stabil, pikirannya penuh mistik dan kasar.

Di kemudian hari, sifat dualisme dari kedua orang tuanya itu digunakan Jung untuk menerangkan berbagai teorinya. Jung menjadi tokoh besar dalam dunia ilmu jiwa yang pemikiran, teori dan pandangannya masih dipelajari di bangku-bangku sekolah dan kuliah di berbagai belahan dunia.

Kisah hidup Jung dan lahirnya pemikiran baru mengenai ulasan ilmu jiwa dan seni dibahas dalam buku "Art & Jung" yang ditulis Buntje Harbunangin.

Sekilas dari judulnya, buku ini mengulas tentang hubungan seni dan teori yang dilahirkan Jung atau mengulas tentang seni dikaitkan dengan psikologi. Melalui buku ini, Buntje mengajak pembaca memahami seni dari sisi Psikologi Analitis Jung.

Buntje yang lahir di Pangkal Pinang 30 Januari 1957 memiliki latar belakang psikologi. Dia menamatkan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) pada 1982.

Lantas mengapa mengulas seni dan Jung? Ya karena Jung adalah ilmuwan yang dinilai paling banyak mengulas hubungan antara psikologi dan seni.

Untuk menjelaskan mengenai isi dari buku ini, Buntje mengulas profil Jung mulai dari kehidupan masa kecil, keluarga dan hari-hari menjalani profesinya di rumah sakit, hubungannya dengan Sigmund Freud, pengembangan bakat seni hingga sisi gelap hubungannya dengan seorang pasien di rumah sakit. Semua disajikan secara populer agar bisa dipahami semua kalangan.

Pada dasarnya buku baru terbitan Antara Publishing ini dibagi atas dua babak. Babak pertama menerangkan secara ringkas konsep dasar teori Jung.

Psikologi Analitis. Namun tidak semua teori Jung disajikan karena selain terlalu luas, Buntje perlu memilih konsep yang sesuai dengan tujuan buku ini; Seni dan Jung.

Babak kedua buku ini lebih menekankan pada teori dengan contoh-contoh karya sastra, lukisan, film dan karya seni lainnya untuk menjelaskan seni dan Jung.

Sebelum memasuki babak kedua, pada Bab II penulis menyajikan sebuah sinopsis dari film berjudul "A Dangerous Method", sebuah film drama produksi tahun 2011.

Dalam Bab III, pembaca akan berkenalan dengan Carl Gustav Jung lewat biografinya. Dari biografi ini akan diketahui masa-masa ketika persahabatannya dengan Freud mulai renggang dan akhirnya seperti seutas tali, putus di tengah perjalanan Jung untuk menjadi seorang tokoh psikoanalis pengganti Freud.

Pada Bab IV, pembaca mulai menyelami alam pikiran Jung tentang kesadaran dan ketidaksadaran, baik personal maupun kolektif. Di bab ini akan ditinjau berbagai universalitas yang sering dijumpai di berbagai ras dan kultur.

Sedangkan Bab V mengupas tentang arketipe beserta arti dan penjelasannya serta beberapa contoh yang dilengkapi ilustrasi dan ekspresinya dalam karya seni. Bab VI mengupas tipologi dari Jung. Tipologi ini perlu dibahas karena ada hubungannya dengan seni.

Babak kedua buku ini dimulai dari Bab VII yang membahas tentang psikologi dan seni. Inti dari bab ini adalah mendiskusikan tentang proses kreatif yang ada ketika seorang seniman bekerja. Sedangkan Bab VIII adalah bab yang menarik karena bercerita tentang Jung sebagai seniman.

Akan terlihat bahwa sebagai orang yang memiliki "Art Complex", Jung mencoba menolak disebut sebagai seniman, walaupun pada akhirnya mengakui juga kesenimanannya. Rangkaian tersebut disusun mengalir dan dengan bahasa yang lugas menjadikan buku ini layak untuk dibaca oleh semua kalangan.

Debu Krakatau
Buntje dalam salah satu bagian mengajak khalayak pembaca mencermati kehidupan keluarga Jung di bidang seni saat Jung masih kecil.

Ayah Jung sering memamerkan karya-karya seni kepada Jung. Salah satunya yang Jung ingat adalah lukisan matahari terbenam yang dibuat dari debu erupsi Gunung Krakatau di Selat Sunda.

Jung kecil juga suka menyelinap di kamar kerja ayahnya. Dia bisa berlama-lama memandang lukisan David dan Goliath serta sebuah lukisan pemandangan di Basel.

Keluarga Jung adalah keluarga bermartabat dan terpelajar, namun dengan keuangan yang terbatas. Karena itu dia kuliah di Universitas Basel dengan pertimbangan lebih ekonomis.

Keinginan belajar Jung berubah terus dan akhirnya menekuni ilmu kedokteran yang diselesaikan tahun 1900.

Jung kemudian bekerja sebagai asisten psikiater Eugene Bleuler di Rumah Sakit Jiwa Burgholzli, Zurich.

Sampai suatu waktu, Jung bertemu dengan Freud. Mulanya Jung adalah sahabat dan murid Freud, penemu psikoanalisa. Hubungan mereka pernah begitu erat. Begitu erat dan dekatnya hingga perbedaan antarmereka sekecil apapun malah menjadi jelas.

Setelah sekian tahun membongkar dan menyoroti berbagai kelemahan psikoanalisa, Jung kemudian merumuskan dan melahirkan teori baru bernama "Analytical Psychology" atau Psikologi Analitis.

"Jung yakin bahwa cara kita berpikir, keputusan yang kita ambil, bahkan nasib kita tidak hanya ditentukan satu hal: seks," kata Buntje.

Teori Freud bahwa seks yang menegendalikan hidup setiap orang tidak dapat Jung terima. Jung berpendapat sebagian atau seluruh perilaku ditentukan pula oleh pengalaman emosional.

"Jung tidak menolak mentah-mentah seluruh pandangan Freud terutama tentang ketidaksadaran. Jung hanya mengatakan bukan hanya itu," kata Buntje.

Perlawanan Jung terhadap Freud adalah keberanian intelektual luar biasa. Pada masa itu, sekitar tahun 1912, Freud dan psikoanalisa sangat dominan.

Diakui banyak juga tokoh lain yang mengkritik psikoanalisa, namun psikoanalisa ibarat kucing hitam yang diusir lewat pintu, lalu masuk kembali lewat jendela.

Sebagai psikiater, Jung juga punya minat dan mendalami arkeologi, filasafat, filologi dan seniman. Dia adalah contoh yang nyaris sempurna dari teorinya sendiri tentang bagaimana seseorang dikendalikan oleh sebuah kompleks. Dalam diri Jung, kompleks itu berupa "Art Complex".

Dia pematung dan pelukis yang produktif dan lukisannya sebagian besar masuk kategori dekoratif.

Setiap lukisan Jung kaya dengan simbol-simbol esoteris dan mitologis, bukan hanya Barat tetapi juga Timur. Hal ini tidak mengherankan mengingat Jung adalah seorang pengelana yang pernah bertualang ke Amerika Utara, Tibet, Tiongkok, Jepang, India, Mesir dan Afrika Utara.

Bukan Ilmu

Seni pada hakekatnya bukan ilmu dan ilmu pada dasarnya bukanlah seni. Jangan mencoba mencampuradukkan keduanya dan jangan pula memosisikan seni sebagai bagian dari cabang ilmu. Demikian pula sebaliknya, jangan mencoba memosisikan ilmu sebagai bagian atau cabang dari seni.

Karena itu, ketika berbicara tentang hubungan psikologi dengan seni, seharusnya hanya mengurus aspek seni yang dapat dikaji melalui penelitian psikologi yang cermat, tanpa mencoba memasuki hakekat seni itu. Bagi Jung, yang dapat diungkapkan seorang psikolog tentang seni adalah terbatas pada proses kreatif.

Proses yang terjadi dalam diri seniman ketika sedang menciptakan karya seni. Psikolog tidak akan dapat berbicara apa-apa tentang esensi yang paling dalam dari seni.

Seorang psikolog harus tahu dan membatasi diri dengan hanya boleh menerangkan atribut psikologis dari sebuah proses penciptaan karya seni.

Seorang psikolog tidak berusaha menerangkan bagaimana pelukis memutuskan objek dan tema, menyusun komposisi, memilih dan mencampur warna. Psikolog tidak bertugas menerangkan seni itu sendiri.

Kenyataan lain adalah tidak selamanya psikologi dapat menerangkan kepribadian seniman berdasarkan karyanya. Tidak selalu sebuah karya seni mencerminkan kepribadian pembuatnya.

Menurut Jung, dalam diri seniman selalu ada dualisme. Di satu sisi adalah manusia dengan kehidupan personal, di sisi lain ia adalah sebuah proses kreatif yang impersonal. Sebagai manusia biasa, seseorang dapat dijelaskan dengan istilah-istilah psikologi. Namun sebagai seniman, ia hanya dapat dijelaskan dari prestasi kreatifnya.

"Bagi kita yang sudah lebih dulu akrab dengan Psikoloanalisa dari Freud, mempelajari Psikologi Analitis dari Jung ibarat mengganti kacamata dari lensa minus menjadi progresif. Perlu penyesuaian beberapa lama," kata Buntje.

Mengingat bahwa Jung pernah menjadi murid Freud, tentu akan dijumpai beberapa kesamaan. Di antaranya pembagian kesadaran dan ketidaksadaran yang mempengaruhi perilaku. Perbedaan yang prinsipil adalah Jung menambahkan ketidaksadaran kolektif yang bersumber dari pengalaman nenek moyang jutaan tahun lalu.

Ketidaksadaran ini kemudian diekspresikan dalam rupa-rupa bentuk warisan kebudayaan seperti mitologi, legenda dan karya seni yang melintasi semua ras dan kultur di permukaan bumi ini.

"Mungkin sudah waktunya kita punya kaca mata lain," kata Buntje.

Oleh Muryono
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016