Makassar (ANTARA News) - Gara-gara tarif toilet umum, sampai jadi urusan DPRD dan LSM di Makassar karena berujung protes berkelanjutan bagi masyarakat setempat. 

Pemberlakukan tarif toilet sebesar Rp.2.000 sekali pakai di Mal Panakukang, Kecamatan Panakukang, itu terus menuai protes karena dinilai memberatkan pengunjung dan pendapatan hasil toilet dianggap tidak transparan.

"Jelas ini merugikan orang-orang karena dianggap memberatkan. Seharusnya toilet ini bagian dari sarana umum, lalu mengapa di komersilkan. Lagipula ini menjadi pertanyaan dikemanakan pendapatan itu apakah masuk ke kas daerh atau tidak," ujar Djaya Djumain, di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu.

Menurut sekretaris Laskar Merah Putih Sulawesi Selatan ini, seharusnya manajemen Mal Panakukang menjadikan toilet sebagai fasilitas umum bagian dari kebutuhan sosial sama dengan mal lain di Makassar.

"Kami juga pertanyakan apakah pendapatan toilet di Mal Panakukang itu masuk ke kas negara, atau jangan-jangan tidak, dan hanya menguntungkan mal tersebut. Ini harus menjadi perhatian pemerintah dan DPRD Makassar karena sudah memberatkan orang," katanya.

Manajemen mal pun berkilah tarif satu kali masuk toilet Rp2.000 itu untuk pembayaran gaji penjaga toilet serta perawatan, namun lagi-lagi Djumain mempertanyakan apakah gaji mereka sudah sesuai UMK.

"Kami akan mengawal persoalan ini hingga ke DPRD Makassar. Bisa dibayangkan berapa keuntungan yang didapatkan mal itu kalau setiap hari ratusan orang masuk tiap harinya apalagi pada masa liburan panjang saat ini," bebernya.

Sebelumnya pihak manajem memberlakukan tarif Rp1.000 satu kali masuk toilet bagi pengujung yang ingin membuang hajat, kemudian belakangan dinaikkan menjadi Rp2.000 dengan dalih perawatan serta membayar gaji pegawai.

Kendati hal ini terus menuai protes, namun pihak DPRD Makassar terkesan tutup mata dan melalukan pembiaran. Meski sebelumnya anggota dewan telah melakukan kunjungan ke mal tersebut, namun tidak memberikan sanksi maupun solusi, diduga ada permainan di balik persoalan itu.

Pewarta: Darwin Fatir
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016