Eddy memerintahkan Wresti untuk mengupayakan penundaan 'aanmaning'."
Jakarta (ANTARA News) - Presiden Komisaris Lippo Group, Eddy Sindoro, bersama empat orang lain disebut menyuap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, senilai Rp150 juta untuk melancarkan dua perkara yang dihadapi Lippo Group di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).

Ketua jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) Fitroh Rochcahyanto dalam sidang pembacaan dakwaan untuk terdakwa Doddy, Rabu, menyebutkan Doddy Aryanto Supeno, Wresti Kristian Hesti, Ervan Adi Nugroho, Hery Soegiarto dan Eddy Sindoro memberikan uang Rp150 juta kepada Edy Nasution.

Pemberian uang tersebut agar Edy Nasution menunda proses pelaksanaan "peringatan terhadap tergugat, agar melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara perdata yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap" (aanmaning) terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dan menerima pendaftaran Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) meski telah lewat batas waktu.

Doddy adalah pegawai PT Artha Pratama Anugerah, sedangkan Eddy Sindoro adalah Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro, Ervan Adi Nugroho merupakan Presiden Direktur PT Paramount Enterprise International, Wresti Kristian Hesti adalah bagian legal PT Artha Pratama Anugerah dan Hery Soegiarto merupakan Direktur PT Metropolitan Tirta Perdana.

"Terdakwa adalah pegawai PT Artha Pratama Anugerah yang merupakan anak perusahaan dari Lippo Group dengan Presiden Komisaris Eddy Sindoro. Selain itu Lippo Group juga punya anak perusahaan PT MTP dengan direktur Hery Soegiarto dan PT Paramout Enterprise international dengan Presiden Direktur Ervan Adi Nugroho," ungkap jaksa Fitroh

Oleh karena Lippo menghadapi sejumlah perkara, dikemukakannya, maka Eddy mengangkat Wresti untuk melakukan pendekatan dengan pihak-pihak terkait perkara, sedangkan Doddy mendapat tugas melakukan penyerahan dokumen maupun uang.

Perkara yang dihadapi Lippo Group di PN Jakpus adalah perkara niaga antara PT MTP dengan Kwang Yang Motor Co.LtD (PT Kymco) dan perkara antara PT AAL dengan PT First Media.

Pertama, terkait penundaan aanmaning" perkara niaga antara PT MTP melawan PT Kymco, jaksa menyatakan bahwa berdasarkan putusan Singapore International Arbitration Center (SIAC) tertanggal 1 Juli 2013, PT MTP melakukan wanprestasi dan wajib membayar ganti rugi kepada PT KYMCO senilai 11,1 juta dolar Amerika Serikat (AS).

Namun, PT MTP belum melakukan kewajibannya sehinga PT KYMCO pada 24 Desember 2013 mendaftarkannya ke PN Jakpus agar seera dieksekusi.

Atas pendaftaran tersebut, PN Jakpus menyatakan putusan SIAC dapat dieksekusi di Indonesia. Namun, PT MTP tidak hadir saat dipanggil PN Jakpus pada 1 September 2015 sehingga dipanggil ulang pada 22 Desember 2015.

"Mengetahui adanya pemanggilan aanmaning, Eddy memerintahkan Wresti untuk mengupayakan penundaan aanmaning. Wresti pun pada 14 Desember menemui Edy Nasution pada 14 Desember 2015 dan meminta penundaan. Atas permintaan itu Edy Nasution menyetujui menunda proses sampai Januari 2016 dengan imbalan sebesar Rp100 juta," kata jaksa Fitroh.

Wresti meminta persetujuan Eddy Sindoro bahwa uang Rp100 juta akan diminta dari Hery Soegiarto, dan Eddy Sindoro menyetujuinya.

Hery memberikan uang itu pada 17 Desember 2015 kepada Wresti. Wresti lalu meminta Wawan Sulistiawan menyerahkan uang kepada Doddy.

"Terdakwa pada 18 Desember 2015 bertemu dengan Edy Nasution di Basement Hotel Acacia Senen Jakarta Pusat dan menyerahkan uang Rp100 juta kepada Edy Nasution," ungkap jaksa Fitroh.

Perkara kedua, terkait pengajuan PK perkara Niaga PT AAL melawan PT First Media, jaksa menyatakan bahwa berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung 31 Juli 2013 PT AAL dinyatakan pailit. Atas putusan kasasi tersebut hingga batas waktu 180 hari PT AAL tidak melakukan upaya PK.

"Namun, untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang ada perkara di Hong Kong, Eddy Sindoro pada pertengahan Februari 2016 memerintahkan Wresti Kristian Hesti mengupayakan pengajuan PK ke PN Jakpus," kata jaksa Fitroh.

Wresti pun bertemu dengan Edy Nasution pada 16 Februari 2016 di kantor PN Jakpus, dan Wresti minta agar dapat melakukan pendaftaran PK PT AAL meski waktunya sudah lewat.

"Atas permintan dimaksud Edy Nasution tidak bersedia dengan alasan waktu pengajuan PK sudah lewat sehingga Wresti menawarkan akan memberikan sejumlah uang sebagai imbalannya dan hal tersebut disetujui Edy Nasution. Selanjutnya Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro di mana Eddy Sindoro menyetujui dan menyampaikan uang akan disediakan oleh Ervan Adi Nugroho," jelas jaksa Fitroh.

Pada 2 Maret 2016, akhirnya PT AAL mendaftarkan PK ke PN Jakpus dan diterima oleh Edy Nasution dan selanjutnya diproses.

"Pada 30 Maret berkas PK perkara niaga PT AAL dikirim ke MA dimana sebelum berkas perkara dikirimkan, Edy Nasution dihubungi oleh Nurhadi Sekretaris MA yang meminta agar berkas perkara niaga PT AAL segera dikirim ke MA," ungkap jaksa Fitroh.

Ervan pada 11 April 2016 menghubungi Wresti untuk menyatakan uang sudah dapat diambil dan Wresti memerintahkan Wawan untuk mengambil kemudian diserahkan kepada Doddy yang memang ditugaskan untuk diserahkan ke pihak lain.

"Pada 18 April 2016 terdakwa menerima Rp50 juta dari Wawan Sulistiawan selanjutnya pada hari itu juga terdakwa menghubungi Edy Nasution untuk meneyrahkan uang namun Edy Nasution berhalangan, lalu disepakati peneyrahan uang dilakukan pada Rabu, 20 April 2016 pukul 10.00 WIB di Hotel Acacia Senen, Jakarta Pusat," jelas jaksa Fitroh.

Sesaat setelah penyerahan uang Doddy dan Edy Nasution pun ditangkap petugas KPK.

Atas dakwaan tersebut, Doddy didakwa berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Terhadap dakwaan tersebut, Doddy akan mengajukan nota keberatan (eksepsi).

"Kami akan mengajukan eksepsi pada Senin, 11 Juli 2016," kata pengacara Doddy, Ani Andriani.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016