Pulau Payung Besar mungkin belumlah setenar dan sepopuler Pulau Tidung dan Pulau Pramuka pariwisata di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Jakarta.

Dengan luas sekitar 20,86 hektare pulau ini memang termasuk sempit bila dibandingkan Pulau Tidung yang berwilayah 50,13 hektare. Di dalam Payung Besar hanya ada 46 kepala keluarga  yang bergabung dalam satu RT, yaitu RT 06 RW 04.

Dengan jumlah penduduk seperti itu, pulau tersebut hanya memiliki satu sekolah, SD Negeri 04 dan satu masjid, Masjid Al-Ikhlas. Wilayah ini pun tidak memiliki pasar, cuma ada warung-warung eceran kecil. Jika ingin berbelanja, warga harus pergi ke daerah Tangerang, Banten ataupun Jakarta dengan kapal.

Masyarakat Pulau Payung Besar pada umunya bekerja sebagai nelayan. Namun, pada akhir minggu ataupun musim libur, mata pencaharian mereka berubah.

Ketika itu, kapal-kapal kayu bermesin tunggal yang biasanya dimanfaatkan untuk mencari ikan beralih fungsi menjadi pengangkut manusia yaitu para wisatawan. Mereka datang demi merasakan sensasi laut yang masih asri.

Pulau mini ini memiliki hampir semua syarat yang diperlukan untuk menjadi tenar sebagai tujuan wisata laut di Jakarta bagian utara. Tempat ini menawarkan laut yang biru dan relatif tenang, pasir pantai halus, kondisi terumbu karang relatif baik, ikan masih banyak dan keramahan masyarakat.

"Lautnya bersih, masih bagus. Kalau ada waktu, saya mau kembali ke sini lagi," ujar Edi, wisatawan asal Depok yang berlibur ke Pulau Payung Besar.

Adapun jumlah kunjungan ke Pulau Payung Besar pun tidak main-main. Kalau bertepatan dengan hari libur, terutama libur panjang, wilayah yang masuk dalam Kelurahan Pulau Tidung tersebut bisa mencatat jumlah kedatangan wisatawan lebih dari 100 orang perhari.

Mereka biasanya datang berkelompok dengan menggunakan kapal, baik kapal milik Dinas Perhubungan DKI "Kerapu", ataupun kapal penyeberangan swasta yang disebut kapal "ojek" oleh masyarakat setempat.

Bahkan, saking masih baiknya keadaan laut di Pulau Payung Besar, tempat itupun menjadi tujuan utama para pengunjung dari Pulau Tidung, yang dari sana berjarak sekitar hampir enam kilometer, untuk melakukan snorkeling.

Kekurangan
Sayangnya, potensi pariwisata itu tidak dibarengi dengan sarana dan prasarana yang baik dan berkualitas. Sebagai contoh, Antara memantau Pulau Payung Besar hanya memiliki dua toilet di sekitar dermaga, itupun dalam keadaan yang sangat memprihatinkan.

Wisatawan yang ingin membilas badan dengan air tawar harus menimba sendiri air dari sumur di depan pintu toilet. Sulit bagi pengunjung untuk mandi, buang air besar atau buang air kecil karena bahkan pintu tidak dilengkapi dengan engsel.

Keadaan WC dan bak yang kotor sehingga menimbulkan bau tidak sedap pun memperparah keadaan tersebut. Penduduk di sana mengatakan, belum pernah ada perhatian dari pemerintah terkait hal tersebut.

"Jujur saja, kami merasa dikucilkan," tutur Sapri, warga setempat.

Selain itu, Pulau Payung Besar hanya memiliki dua kios makan di dekat pantai, juga dalam keadaan tidak layak. Dengan ukuran sekitar 4X4 meter pertempat makan, tempat itu tidak ubahnya warung tua yang kekuatannya bergantung kayu-kayu penyangga berkondisi lapuk.

Satu lagi yang cukup vital adalah tidak adanya dermaga kapal permanen di pulau yang sebagian tanahnya dikuasai pihak swasta itu. Menurut Ketua Asosiasi Jasa Wisata Kepulauan Seribu, Musle, keberadaan dermaga penting untuk meningkatkan jumlah kedatangan wisatawan.

Sebab dengan dermaga permanen, kapal-kapal tradisional dengan ukuran besar bisa sandar dan singgah, tidak cuma transit.

Musle mengatakan sulit bagi kapal untuk sandar di dermaga apung seperti yang ada saat ini. Jika tidak ada kapal masuk, lanjut dia, sulit untuk menjual paket wisata ke Pulau Payung Besar.

Permasalahan lain yang mencuat yaitu sedikitnya daya tampung karena pulau itu cuma memiliki 12 "home stay", rumah warga yang disewakan sebagai tempat tinggal pelancong. Dari jumlah itu ada 10 yang dilengkapi pendingin ruangan (AC).

Apalagi, "home stay" tersebut ditawarkan dengan harga terjangkau, sekitar Rp500.000 permalam untuk satu rumah yang bisa diisi hingga 10 orang. Jika permintaan tinggi, maka terpaksa ada wisatawan yang tidak bisa menginap di dalam ruangan.

Kalau sudah begini, biasanya pelancong ditawari kamping di tempat-tempat sekitar pulau yang sebenarnya tidak diperuntukkan untuk itu.

Perlu Kantor Pelabuhan
Demi menunjang aktivitas wisatawan, Dinas Perhubungan DKI Jakarta menempatkan seorang Kepala Pelabuhan di Payung Besar, yang bertanggung jawab mengatur naik-turunnya penumpang.

Saat ini jabatan tersebut diemban oleh Hendarmanto. Akan tetapi, dia belum memiliki kantor tetap untuk bekerja dan melaksanakan operasional pelabuhan, senasib dengan Pulau Pari.

Di Payung Besar, Kepala Pelabuhan cuma diberikan tenda berwarna biru berukuran sekitar 2,5x2,5 meter untuk bekerja yang letaknua tepat di depan dermaga apung. Itu dirasa Hendarmanto sangat tidak efektif.

Dia menuturkan, sebenarnya pembangunan kantor pelabuhan di daerah yang dipimpinnya sudah masuk dalam perencanaan untuk direalisasikan pada tahun 2017. Akan tetapi, proyek tersebut gagal dengan alasan yang belum diketahui.

Padahal, lanjutnya, Dinas Perhubungan sudah memiliki lahan untuk itu di Pulau Payung Besar bagian selatan. Keberadaan kantor pelabuhan diyakini bisa memberikan dampak cukup besar, mulai dari semakin tertibnya tempat pembelian tiket hingga bisa memberdayakan masyarakat setempat, karena kantor tentu berimbas pada bertambahnya SDM.

Sampai pertengahan tahun 2016, ada lima pulau di Kepulauan Seribu yang telah memiliki kantor pelabuhan permanen yaitu Pulau Untung Jawa, Pulau Pramuka, Pulau Tidung, Pulau Lancang dan Pulau Kelapa.

Melihat potensi dan segala permasalahan di Pulau Payung Besar, pemerintah lokal berjanji segera melakukan perubahan. Ini tidak lepas dari keinginan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meningkatkan penerimaan asli daerah dari sektor pariwisata.

"Pulau Payung Besar adalah salah satu yang didorong perkembangannya karena ke depan jumlah wisatawan akan semakin meningkat," ujar Lurah Pulau Tidung Fadli. 

Oleh Michael Teguh Adiputra Siahaan
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016