Jakarta (ANTARA News) - Anggota Panitia Khusus Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Arsul Sani, mengatakan bahwa pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme tidak boleh menggeser paradigma dari proses peradilan pidana menjadi pendekatan perang.

"Pelibatan TNI tidak boleh menggeser paradigman pemberantasan terorisme dari basis proses peradilan pidana menjadi pendekatan perang atau keamanan nasional," katanya di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin.

Dia menjelaskan, masukan terkait pelibatan TNI itu berasal dari kalangan akademik, agar pendapat yang diberikan bisa komprehensif.

Menurut dia, pelibatan TNI itu memang diperlukan saat ini, namun tidak boleh keluar jauh dari UU TNI dan UU Pertahanan Negara.

"Intinya pelibatan TNI diakui memang diperlukan dalam situasi tertentu, namun tidak boleh keluar jauh dari UU Nomor 34 tahun 2004 tentanng TNI dan UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara," ujarnya.

Anggota Komisi I DPR, Charles Honoris mengatakan tidak perlu penambahan kekuatan TNI dalam pemberantasan terorisme.

Dia menilai selama ini TNI bisa ikut memberantas terorisme, misalnya, membantu menembak pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Abu Wardah alias Santoso.

"Pelibatan TNI itu harusnya bersifat perbantuan, karena kita menganut pendekatan sistem criminal justice system dalam pemberantasan terorisme," ucapnya.

Dia menilai, sifat keterlibatan TNI hanya sebatas perbantuan dan ketika diminta penegak hukum/polri dan harus dengan persetujuan Presiden melalui keppres.

Hal itu menurut politikus PDIP itu, sudah diatur dalam UU TNI Pasal 7 tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016