Jakarta (ANTARA News) - Akibat melihat, mendengar, dan merasakan kenyataan kehidupan bangsa Indonesia setelah 71 tahun merdeka, saya merasa perlu secara lebih saksama merenungi Undang-Undang Dasar 1945.

Sebagai pembukaan UUD 1945, tersurat: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Usai merenungi pembukaan UUD 1945 tersebut, saya langsung fokus mawas diri pada diri saya sendiri. Kesimpulan dari upaya mawas diri itu adalah saya beruntung, termasuk rakyat Indonesia yang layak bersyukur, alhamdullilah, karena saya merasa diri saya tergolong rakyat Indonesia yang dapat menikmati nikmat kemerdekaan bangsa Indonesia.

Secara sandang-pangan-papan saya cukup berkecukupan. Saya memiliki tempat bermukim, kendaraan, driver, perusahaan yang menghidupi sanak keluarga saya serta para karyawan, sekolah mendidik anak-anak berbakat kesenian, lembaga pencatatan prestasi unggul warga Indonesia, punya tabungan sehingga secara berkala bisa bertamasya domestik maupun mancanegara.

Secara sosial saya beruntung punya teman-teman presiden, menteri, budayawan, cendekiawan, rohaniwan, pengusaha, pejuang kemanusiaan, pemulung dll. Secara kultural, saya bisa berkarsa dan berkarya menulis, seni musik, seni rupa, kartun, menjunjung tinggi harkat martabat kebudayaan Nusantara sampai ke mancanegara. Pendek kata kehidupan saya pribadi sebagai rakyat Indonesia dapat dikatakan sebagai makmur, sejahtera, dan bahagia.

Ketika saya mawas lingkungan pun saya memperoleh kesan positif. Saya melihat kenyataan fakta hasil pembangunan ragawi secara luar biasa mengesankan mulai dari pusat perbelanjaan megah mewah gemerlap, gedung-gedung pencakar langit, rumah-rumah makan dengan menu dan harga seolah tak kenal batas, gedung bioskop, tempat-tempat hiburan, bandara, stasiun kereta, pelabuhan, sekolah-sekolah kaliber elit, rumah-rumah sakit modern dan lain-lain lambang kemakmuran.

Tentu saja lingkungan gemerlap yang saya simak memang terbatas pada kawasan urban yang bukan kumuh saja. Di sisi lain, rasa iba menyelinap sanubari saya setiap saat menyaksikan adegan kenyataan penertiban sebagai penghalus istilah penggusuran yang sedang gencar dilaksanakan di berbagai kawasan Nusantara atas nama pembangunan.

Pada kenyataan penggusuran tanpa musyawarah-mufakat yang dilakukan dengan paksaan bahkan kekerasan, saya tidak menemukan sukma kedaulatan rakyat dengan berdasar kepada kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kenijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Teman-teman sebangsa dan se-Tanah Air yang kebetulan secara langsung merasakan sendiri penderitaan tergusur sebenarnya juga sudah mengeluh, meratap, menjerit, sampai memprotes. Namun, tampaknya keluhan, ratapan, jeritan, dan protes mereka yang tergusur dianggap sebagai angin sepoi-sepoi berlalu belaka maka tidak layak dihiraukan.

Para penggusur tetap bersemangat maju-tak-gentar, rawe-rawe-rantas-malang-malang-putung serupa semangat para pejuang kemerdekaan, gigih melaksanakan penggusuran terhadap mereka yang memang dianggap layak dikorbankan demi pembangunan. Terkesan seolah penggusuran demi pembangunan memang merupakan suatu bentuk keniscayaan zaman yang secara kodrati memang niscaya wajib terjadi dalam peradaban umat manusia.

Maka, akhir-akhir ini di tengah nikmat keberuntungan dapat menikmati nikmat kemerdekaan bangsa Indonesia, sanubari bahkan nurani pribadi saya sebagai warga Indonesia kerap terusik rasa iba berlumur pertanyaan.

Pertanyaan mengenai apakah makna yang tersirat pada apa yang tersurat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai kedaulatan rakyat dengan berdasar kepada kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, masih sesuai dan selaras dengan kenyataan yang tersirat pada kemelut kehidupan bangsa Indonesia pada masa setelah 71 tahun UUD tersebut disusun.


*) Penulis adalah seniman dan budayawan, pembelajar makna kerakyatan, keadilan, dan kemanusiaan

Oleh Jaya Suprana *)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016