Jakarta (ANTARA News) - Negeri Ginseng sepertinya tidak kehabisan cerita yang membetot keprihatinan komunitas maritim global. Belum hilang dari memori publik dunia kasus tenggelamnya feri Sewol yang menelan korban ratusan orang, kini kapal lain milik negara itu kembali tenggelam.

Jika dalam peristiwa pertama hanya satu kapal yang tenggelam dan berakhir di relung dasar samudera, pada peristiwa terbaru jumlah kapal yang "tenggelam" mencapai puluhan unit dan mereka berakhir di tangan-tangan kreditur. Ya, kapal Korea Selatan yang baru saja "karam" dalam arti bangkrut itu adalah Hanjin.

Apa yang menimpa pelayaran Hanjin saat ini memang tragis dan karenanya media massa di seluruh belahan dunia meliputnya dengan intensif, termasuk media lokal. Betapa tidak, Hanjin merupakan perusahaan pelayaran yang termasuk "the big ten" dunia.

Eksportir dan importir Indonesia pun tidak asing dengan pelayaran yang satu ini. Di samping Hanjin, publik di Tanah Air juga mengenal pelayaran Korea Selatan yang lain seperti Dongnama, Heung-A, dan yang lainnya.

Pelayaran Dongnama sepertinya juga sudah "game over" karena sudah tidak terlihat lagi peti kemasnya berseliweran di jalanan ibu kota. Pelacakan di dunia maya juga tidak menginformasikan dengan jelas apakah ia masih eksis atau tidak.

Tetapi kita tinggalkan saja pembicaraan mengenai Dongnama itu. Bukan pelayaran tersebut yang menjadi pikiran utama dari tulisan ini.

Kebangkrutan Hanjin sebetulnya sudah bisa diperkirakan. Dalam kurun tiga tahun terakhir seluruh pelayaran dunia mencatatkan penurunan pendapatan yang signifikan karena melorotnya "freight rate" (biaya pengangkutan).

Ambil contoh pada rute Asia-Eropa. Freight rate-nya adalah 620 dolar AS/peti kemas, padahal untuk bisa "break event point" (kembali modal) harganya harus 1.000 dolar AS/peti kemas. Contoh lain, pengapalan peti kemas dari Shanghai ke Rotterdam dibanderol 431 dolar AS/peti kemas, hanya cukup untuk menutup biaya bunker saja.


Siklus Pelayaran

Bisnis pelayaran adalah sebuah bidang usaha yang sangat berisiko (high risk) dengan jumlah kerugian atau "lost" yang sangat siginifikan jika terjadi, mengingat kapal adalah barang modal yang amat mahal.

Risiko dalam bisnis pelayaran diakibatkan oleh adanya "shipping cycles" (siklus pelayaran), kata Martin Stopford dalam bukunya yang menjadi rujukan berbagai kalangan kemaritiman internasional, "Maritime Economics".

Keberadaan siklus tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Bagi dunia pelayaran siklus diperlukan untuk menciptakan sebuah lingkungan bisnis di mana perusahaan yang tidak efisien harus mundur dari kancah permainan dan hanya yang efisien saja yang dapat bertahan dan mendulang keuntungan.

Jika diukur dari awal mula sejarah pelayaran modern, yakni 1869 hingga 1994, setidaknya telah terjadi 12 siklus. Setiap siklus yang terjadi dalam rentang waktu tersebut berbeda-beda durasinya; ada yang berlangsung selama tiga-empat tahun (diistilahkan dengan siklus Kitchen) dan ada pula yang bertahan lebih dari 50 tahun yang disebut dengan siklus Kondratieff. Tetapi, harap dipahami, bukan berarti tidak terjadi shipping cycles setelah 1994.

Apa yang dihadapi oleh pelayaran peti kemas mondial Hanjin yang merupakan salah satu operator kapal peti kemas, saat ini bisa jadi mengindikasikan tengah berlangsungnya siklus tersebut.

Pelayaran peti kemas, dikenal dengan sebutan "liner shipping" memiliki tiga karakteristik masalah: pertama, "seasonality", yaitu suatu situasi pengapalan di mana jenis barang atau komoditas tertentu sangat tinggi pada waktu tertentu, namun mendatar atau bahkan turun pada saat yang lain.

Kedua, "cargo imbalances". Maksudnya adalah keadaan ketidakseimbangan dalam arus perdagangan. Suatu rute tertentu sangat ramai sementara rute lain biasa-biasa saja. Akibatnya, kapal peti kemas menyandari sebuah pelabuhan dengan muatan penuh, tetapi ketika pulang hanya terisi setengah atau hanya seperempat saja.

Ketiga, "indivisibilities". Maksudnya, ketika pasokan ruang kapal sangat dibutuhkan, antisipasinya dilakukan dengan membuat kapal-kapal dengan ukuran yang makin besar.

Hanjin diketahui merupakan salah satu perusahaan peti kemas yang terlibat dalam perlombaan pembangunan kapal besar (mega ship). Saat ini mega ship yang terkenal adalah Triple E milik Maersk Line yang mampu mengangkut 18.000 TEU.

Selain Maersk, pelayaran MSC, CMA CGM, China Shipping Container Line, United Arab Shipping Co, dan Evergreen juga memiliki dan akan memiliki kapal-kapal bongsor dengan daya angkut peti kemas yang sama.

Hanjin memang tidak membangun mega ship. Keterlibatannya dalam perlombaan yang ada lebih melalui aliansi (shipping alliance) yang dibangun oleh operator kapal-kapal bongsor tersebut. Lalu, apa hubungan keberadaan mega ship dan aliansi mereka dengan kebangkrutan Hanjin? Kapal bongsor berarti "overcapacity". Dari overcapacity ini lalu muncullah "freight rate" yang rendah.

Freight rate yang rendah dapat dipastikan tidak akan mampu menutupi biaya operasional, dan yang paling penting, membayar investasi yang telah dikeluarkan untuk membangun kapal.

Jika saat ini perusahaan pelayaran yang terlibat dalam proyek ambisius mega ship masih bertahan, percayalah itu hanya sementara. Mereka masih memiliki cadangan dana untuk memback-up operasional sehari-hari. Namun, Hanjin sudah tidak kuat untuk itu dan tamatlah sudah riwayatnya.

Hanjin sudah menjadi riwayat lama. Tetapi awan gelap yang menggelayuti bisnis pelayaran internasional masih tetap di atas sana, menunggu mangsa berikutnya. Semoga saja ada cahaya cerah di balik itu.

*Penulis, Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

(A015/T007)

Oleh Siswanto Rusdi*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016