Jakarta (ANTARA News) - Meski Persetujuan Paris (Paris Agreement) masuk level "entry into force" pada Rabu (5/10), proses ratifikasi hasil Konferensi Tingkat Tinggi PBB untuk Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) ke-21 menjadi undang-undang masih berjalan dan menunggu penerbitan Amanat Presiden (Ampres).

"Ampres sudah selesai, mungkin besok juga sudah selesai. Sekarang di Mensesneg (Menteri Sekretaris Negara-red), segera naik ke Presiden," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar usai diskusi Dukungan Parlemen untuk Perubahan Iklim di Gedung Mangala Wanabakti, Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan ada banyak pihak yang harus dimintai persetujuan beberapa Kementerian dalam proses ratifikasi Persetujuan Paris ini menjadi undang-undang tersebut, beberapa diantaranya Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, dan Menko Perekonomian.

"Dan saya dengar hari ini sudah selesai," kata Siti.

Ia juga mengatakan telah mengkomunikasikan perihal ratifikasi Persetujuan Paris ini kepada semua menteri yang hadir saat membahas Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu.

Dari hasil diskusi Dukungan Parlemen untuk Perubahan Iklim, menurut dia, terlihat bahwa dukungan negara yang terdiri dari legislatif dan eksekutif sama.

"Atensi Wapres luar biasa terhadap lingkungan, parlemen pun luar biasa," katanya.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nur Masripatin mengatakan setelah Ampres diterbitkan Presiden segera akan dimintakan persetujuan DPR. Proses selanjutnya tinggal pengesahan undang-undang oleh Presiden.

"Semakin cepat proses sidang di DPR, dan tadi kita dengar mereka sudah sepakat untuk menyetujui, berarti bisa segera disahkan undang-undangnya oleh Presiden. Dari sana kita sudah bisa deposit dokumen ratifikasi ke UNFCCC," ujar dia.

Saat ini, ia mengatakan Persetujuan Paris telah memasuki tahap "entry into force" karena sudah ada 74 dari 197 negara parties yang mendepositkan dokumen ratifikasinya ke UNFCCC dengan presentasi pengurangan mencapai 58,82 persen dari emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global.

"Yang penting sebelum ke Marakesh (COP 22) kita sudah ratifikasi. Tidak apa-apa tidak masuk 55 negara awal yang meratifikasi, tidak ada pengaruhnya," ujar dia.

Alasan Indonesia ingin meratifikasi Persetujuan Paris sebelum pelaksanaan COP 22 yang akan digelar di Marrakesh, Maroko, pada 7-18 November 2016, untuk bisa ikut duduk pada perundingan pertama negara para pihak pascaditetapkannya Persetujuan Paris ke level "entry into force" (CMA-1), dan tidak sekedar sebagai pengamat saja.

Sementara itu, dalam diskusi, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PAN Dewi Koryati mengatakan secara informal dewan sudah menyepakati ratifikasi Persetujuan Paris menjadi undang-undang, karena persetujuan ini penting bagi Indonesia untuk bisa ikut menahan kenaikkan suhu global lebih dari dua derajat celsius.

"Bahkan harapan kami (parlemen) mampu menekan kenaikan suhu di batas 1,5 derajat celsius mengingat negara kita berupa kepulauan. Kami dari berbagai fraksi sepakat ratifikasi untuk cepat direalisasikan," ujar dia.

Ia mengatakan saat ini dewan menunggu Ampres sambil secara paralel mendalami rancangan undang-undang yang sudah ada, sehingga ketika Amanat Presiden telah tebit bisa langsung disetujui DPR. "Maka saat COP 22 di Marrakesh berlangsung, Indonesia memiliki suara".

Dukungan untuk mempercepat proses ratifikasi juga diberikan oleh anggota Komisi IV DPR Fraksi PDIP Hengky Kurniadi dan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Gerindra Aryo Djojohadikusumo yang hadir dalam diskusi bersama perwakilan Kementerian/Lembaga, ahli dan akademisi, LSM, serta media massa.

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016