Nusa Dua (ANTARA News) - Indonesia sebagai kepala himpunan negara-negara pesisir Samudra Hindia mengaku berupaya keras membebaskan rute perdagangan dunia yang kaya kandungan minyak tersebut dari pengaruh negara-negara besar sehingga berpotensi mengancam stabilitas keamanan kawasan.

Ada setidaknya dua kekuatan besar yang memainkan pengaruhnya di Samudra Hindia. Di satu sisi, ada Tiongkok (Cina) yang ingin mengamankan pasokan minyak mentah dari rute laut ini. Sementara itu, di kubu seberangnya, ada India yang merasa dilangkahi Beijing di kawasan Asia Selatan.

Kedua negara sudah lama terlibat sengketa teritorial daerah Kashmir-Xinjiang--kawasan di timur laut India dan barat daya Tiongkok. Perselisihan itu kemudian berkembang meluas sampai ke negara-negara pesisir Samudra Hindia. Keduanya menggunakan kekuatan ekonomi, militer, maupun politik untuk menjadi kekuatan utama.

Kepentingan Tiongkok di Samudra Hindia sangat jelas. Mereka bergantung pada rute laut ini untuk mengimpor 84 persen kebutuhan minyak mentah yang berperan kritis sebagai sumber energi perekonomian dalam negeri.

Mengingat pentingnya kawasan itu bagi Beijing, pemerintahan Presiden Xi Jinping rela menggelontorkan uang senilai 40 miliar dolar AS atau lebih dari Rp500 triliun untuk membangun kembali jalur sutera darat dan laut--yang melewati Samudra Hindia. Mereka mendekati negara-negara kecil di sekitar India, seperti Bangladesh dan Pakistan, untuk tujuan itu.

Menurut laporan dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, strategi Tiongkok adalah dengan menciptakan jaringan pelabuhan yang "menguntai seperti mutiara" (string of pearls) di titik-titik sempit Samudra Hindia, seperti Selat Mandeb di Yaman dan Selat Malaka di Indonesia.

Presiden RI Joko Widodo dikabarkan sempat mendekati Tiongkok untuk mengintegrasikan strategi untaian mutiara itu dengan visi Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia.

Selain menggunakan pengaruh ekonomi dengan menggelontorkan puluhan miliar dolar untuk mengamankan pasokan energi ke dalam negeri, Tiongkok akhir-akhir ini juga makin agresif mengirim kapal-kapal perang mereka ke Samudra Hindia.

Selain itu, Beijing tengah membangun pangkalan angkatan laut pertama di negara asing di Djibouti, negara yang terletak di pesisir Selat Mandeb. Jika teori untaian mutiara benar adanya, bukan tidak mungkin Tiongkok akan menambah pangkalan laut di Pakistan dan Indonesia.

Kegarangan Tiongkok inilah yang kemudian menciptakan "dilema keamanan", istilah dalam ilmu hubungan internasional yang merujuk pada situasi aksi sebuah negara untuk memperkuat keamanan--dengan membangun aliansi dan menambah kapasitas militer--disambut dengan reaksi yang sama dari negara lain.

Dilema keamanan ini terlihat jelas dalam perkembangan militer India setahun terakhir. Negara itu berencana menghabiskan miliaran dolar AS untuk memperkuat angkatan laut. Mereka bahkan beberapa kali mengirim kapal perang mereka ke Laut Tiongkok Selatan--titik sekam api lain yang sama sekali tidak melibatkan New Delhi.

Pada tahun lalu, India memutuskan untuk bergabung dalam latihan perang bersama di Teluk Benggala bersama seteru-seteru besar Tiongkok lainnya, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia.

"Perluasan kemampuan (militer, red.) kami di Samudra Hindia adalah prioritas utama kami dalam menciptakan keamanan," kata Menteri Luar Negeri India, Subrahmanyam Jaishankar, April lalu.

Kepentingan New Delhi di Samudra Hindia sebetulnya sama dengan Beijing. Sebagai negara yang tengah berkembang pesat, India mengimpor 80 persen kebutuhan energi mereka dari Timur Tengah melalui jalur laut ini.


iora.net


Indonesia Pemain Tengah

Di tengah ketegangan dua negara itu Indonesia berdiri dan menggelar perundingan dengan himpunan negara-negara pesisir Samudra Hindia (Indian Ocean Rim Association/IORA) di Nusa Dua, Bali, pada pekan ini. Hadir dalam pertemuan itu pejabat setingkat menteri dan eselon satu, termasuk India yang merupakan anggota dan Tiongkok sebagai mitrawicara.

Indonesia pada periode 2016 sampai tahun depan menjadi ketua organisasi yang punya peran strategis namun kurang dikenal. Perundingan di Nusa Dua akan menentukan agenda pembahasan dalam konferensi tingkat tinggi IORA pada tahun depan.

Beberapa pihak menduga bahwa persaingan antara India dan Tiongkok--salah satu mitrawicara di IORA--membuat organisasi ini lumpuh dan tidak mampu mencapai kata sepakat soal keamanan meskipun telah berusia 20 tahun dan punya persoalan keamanan yang sama di Samudra Hindia, perompakan.

Perompakan memang menjadi persoalan besar di Samudra Hindia. Sebanyak 41 persen perompakan yang terjadi di seluruh dunia terjadi di Selat Malaka dengan kerugian miliaran dolar AS. Persoalan yang sama juga terjadi di Somalia.

Berbekal kepentingan bersama untuk mengatasi perompakan itu Indonesia mencoba menjadi pemain tengah yang bisa mengubah persaingan menjadi kerja sama.

"Kepemimpinan Indonesia dinilai netral tanpa kepentingan. Oleh sebab itu, negara-negara anggota mulai terbuka membicarakan persoalan keamanan," kata Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Desra Percaya kepada sejumlah wartawan sesuai menghadiri pertemuan hari pertama, Selasa, bersama para pejabat tinggi dari negara-negara IORA.

"Salah satu misi kami di Samudra Hindia agar wilayah ini tidak menjadi proyeksi pertarungan kepentingan negara-negara besar," kata Desra.


iora.net


Negara-negara IORA selama ini enggan membicarakan persoalan keamanan, kata Desra tanpa mengungkap apa penyebabnya. Bisa diperkirakan bahwa persaingan India dan Tiongkok turut andil dalam kemandulan ini.

Meski sudah mulai terbuka, persoalan keamanan masih membelah negara-negara pesisir Hindia yang tergabung dalam IORA. Terbukti dari dari pengakuan Desra bahwa pasal keamanan merupakan menjadi titik panas yang belum disepakati pada hari pertama.

"Meski pasal itu belum disepakati, kami masih yakin pada hari kedua, negara anggota akan menyepakatinya," kata Desra.

Persoalan menjadi makin rumit mengingat tidak semua negara pesisir Samudra Hindia bergabung dalam IORA, dan sebagian besar di antaranya merupakan sekutu dekat Tiongkok dan seteru langsung India, seperti Pakistan.

Bahkan, ada pandangan yang terkesan menghindari penyelesaian sengketa melalui IORA. Misalnya, pernyataan pejabat Kementerian Luar Negeri Afrika Selatan, Anil Sooklal, bahwa Pakistan harus menyelesaikan dahulu sengketanya dengan India sebelum bergabung dengan IORA.

"Jangan bawa sengketa ke IORA," katanya.

Pertanyaan retoris untuk Sooklal, apa gunanya organisasi internasional didirikan jika tidak untuk menyelesaikan sengketa?

Dengan situasi ini, alotnya perundingan dan absennya seteru-seteru India, pertanyaan besar masih menggantung soal seberapa efektif kesepakatan keamanan di Samudra Hindia melalui perundingan Nusa Dua pekan ini dan konferensi tingkat tinggi di Jakarta pada tahun depan.

Persoalan menjadi makin pelik mengingat negara-negara anggota IORA secara ironis tampak tidak tertarik menggunakan forum itu untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Terbukti hanya 11 dari 21 negara anggota yang mengirim pejabat setingkat menteri ke pertemuan di Nusa Dua. India untungnya mendelegasikan Jaishankar.

Dua hari ke depan akan menjadi pertaruhan bagi diplomasi Indonesia yang sudah telanjur sesumbar menjadi pemain netral di tengah perseteruan dua negara berkembang dengan perekonomian yang melaju paling cepat.

Oleh G.M. Nur Lintang Muhammad
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2016