Tersangka harus mengakui perbuatan dan menyesalinya. Kedua tersangka memberikan keterangan seluas-luasnya dengan mengungkap pelaku lain yang lebih besar atau aktor utama, baru JC tersebut dapat dikabulkan, jadi siapapun yang mengajukan JC sikapnya ha
Jakarta (ANTARA News) - KPK mempertimbangkan pengajuan "justice collaborator" yang diajukan dua tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (e-KTP) 2011-2012.

"KPK sangat terbuka untuk pengajuan JC, tapi ada syarat sebagai pemohon JC dan hingga saat ini kami belum mendapat konfirmasi pasti apakah ada pengajuan, tapi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seseorang agar mendapatkan status JC," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK Jakarta, Kamis.

Sebelumnya, mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman melalui pengacaranya mengajukan "justice collaborator" atau JC (saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum) ke KPK.

"Tersangka harus mengakui perbuatan dan menyesalinya. Kedua tersangka memberikan keterangan seluas-luasnya dengan mengungkap pelaku lain yang lebih besar atau aktor utama, baru JC tersebut dapat dikabulkan, jadi siapapun yang mengajukan JC sikapnya harus seperti itu, harus ditunjukkan secara jelas, bila masih menyembunyikan sesuatu JC tidak bisa dilakukan," jelas Febri.

Namun Febri belum menjelaskan informasi apakah Sugiharto maupun Irman sudah membeirkan informasi seluas-luasnya termasuk peran pihak lain.

"Hal itu masih dalam materi penyidikan, tapi JC ini adalah peluang bagi banyak pihak yang menjadi tersangka di KPK. Meski memang ada eskalasi siginfikan untuk pemeriksaan-pemeriksaan dan juga penyusunan dokumen-dokumen e-KTP dalam mematangkan penyidikan untuk tersangka S atau I," tambah Febri.

KPK sudah menahan Irman dan Sugiharto. Irman ditahan pada 21 Desember 2016 sedangkan Sugiharto ditahan sejak 19 Oktober 2016.

Irman dan Sugiharto ditetapkan sebagai tersangka pada September 2016 lalu dengan sangkaan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Irman diduga melakukan penggelembungan harga dalam perkara ini dengan kewenangan yang ia miliki sebagai Kuasa Pembuat Anggaran (KPA).

Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin, melalui pengacaranya Elza Syarif pernah mengatakan bahwa proyek E-KTP, dikendalikan ketua fraksi Partai Golkar di DPR yaitu Setya Novanto, mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang dilaksanakan oleh Nazaruddin, staf dari PT Adhi Karya Adi Saptinus, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri dan Pejabat Pembuat Komitmen.

Dalam dokumen yang dibawa Elza tampak bagan yang menunjukkan hubungan pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi proyek KTP elektroni antara lain Setyo Novanto, Anas Urbaningrum, Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Arief Wibowo, Gamawan Fauzi, Dian Anggraeni, Sugiharto, Drajat Wisnu S.

Pemenang pengadaan E-KTP adalah konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI) yang terdiri atas Perum PNRI, PT Sucofindo (Persero), PT LEN Industri (Persero), PT Quadra Solution dan PT Sandipala Arthaput yang mengelola dana APBN senilai Rp6 triliun tahun anggaran 2011 dan 2012.

Pembagian tugasnya adalah PT PNRI mencetak blangko e-KTP dan personalisasi, PT Sucofindo (persero) melaksanakan tugas dan bimbingan teknis dan pendampingan teknis, PT LEN Industri mengadakan perangkan keras AFIS, PT Quadra Solution bertugas mengadakan perangkat keras dan lunak serta PT Sandipala Arthaputra (SAP) mencetak blanko E-KTP dan personalisasi dari PNRI.

PT. Quadra disebut Nazar dimasukkan menjadi salah satu peserta konsorsium pelaksana pengadaan sebab perusahaan itu milik teman Irman dan sebelum proyek e-KTP dijalankan, Irman punya permasalahan dengan Badan Pemeriksa Keuangan. PT Quadra membereskan permasalahan tersebut dengan membayar jasa senilai Rp2 miliar, maka teman Kemendagri pun memasukkan PT Quadra sebagai salah satu peserta konsorsium.

Berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara akibat kasus korupsi e-KTP itu adalah Rp2 triliun karena penggelembungan harga dari total nilai anggaran sebesar Rp5,9 triliun.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016