Hasil jajak pendapat yang diselenggarakan lembaga kemasyarakatan memperlihatkan bahwa mayoritas generasi muda di Tanah Air menolak penggunaan kekerasan oleh kelompok agama.

Angka definitif mereka yang menolak itu sangat signifikan, 88,2 persen. Sementara mereka yang setuju hanya 3, 8 persen dan selebihnya, yakni 8 persen menyatakan tidak tahu.

Apa makna angka-angka statistik itu? Tentu, hasil survei itu bisa menimbulkan rasa lega karena hampir sembilan puluh persen generasi muda punya visi toleransi dan semangat moderat yang dibutuhkan dalam merajut persatuan dan kebangsaan di masa depan.

Jika angka-angka statistik itu dipercaya mencerminkan realitas sosial, intepretasi suram pun bisa dimungkinkan. Jika populasi generasi muda saat ini diasumsikan berjumlah seratus juta jiwa, yang menenggang kekerasan berbasis keagamaan sebanyak 3,8 juta orang.

Ada sebanyak hampir 4 juta anak muda yang mendukung kekerasan oleh kelompok agama sungguh angka yang menyeramkan. Fenomena ini menjadi lahan subur bagi kelompok radikal yang hendak mencari tenaga baru untuk melanjutkan ideologi kekerasan mereka dalam melakukan perubahan sosial politik ekonomi.

Namun, pandangan atau visi seseorang bisa berevolusi. Artinya, tak mustahil mereka yang saat ini menyetujui kekerasan sebagai alat melahirkan perubahan suatu saat kelak dalam proses atau perjalanan hidup mereka menjadi moderat dan beralih pandangan.

Begitu juga sebaliknya, mereka yang saat ini berpandangan moderat, bisa saja suatu saat nanti menjadi radikal dan termakan oleh visi kaum radikal yang menghalalkan jalan kekerasan untuk melakukan perubahan yang diidealkan.

Dengan demikian, angka-angka statistik itu bisa dijadikan pedoman bahwa peluang terjadinya kekerasan di kemudian hari dengan basis ideologi keagamaan tetap terbuka.

Menjadi tugas semua pihak untuk menjaga agar visi mereka yang menolak kekerasaan saat ini tetap di jalur moderat hingga mereka dewasa. Yang tak kalah penting adalah mengubah visi mereka yang menyetujui kekerasan sehingga mereka ini pada akhirnya mengubah pandangan mereka di kemudian hari. Mereka berubah menjadi lebih toleran.

Kisah hidup aktivis hak asasi manusia Munir (mendiang) mencerminkan perubahan dari masa remajanya yang intoleran, eksklusif dan sektarian akhirnya berubah dalam proses hidupnya menjadi toleran dan inklusif.

Perubahan itu tentu lewat proses yang kompleks dan pelik. Namun jika disederhanakan, salah satu jalan menuju sikap toleran adalah berinteraksi dengan seluas mungkin kalangan atau kelompok sosial.

Mereka yang sektarian, intoleran umumnya cenderung membatasi pergaulannya, membatasi bahan bacaannya dan mandeg dalam pencarian kebenaran hidup.

Kebenaran ada di mana-mana, itulah salah satu pandangan kaum inklusif. Di semua kelompok keagamaan di semua agama atau aliran keyakinan, selalu ada satuan sosial yang menampik pandangan itu. Mereka pun membatasi diri hanya berinteraksi dan berinterelasi dengan kelompok sealiran.

Kelompok ini biasanya berpandangan bahwa berinteraksi dengan mereka yang berlainan pandangan hanya akan mengotori atau mencemari kemurnian keyakinan mereka. Mereka tak berminat sedari awal untuk menengok, apalagi mencari, kemungkinan kebenaran yang ada di lingkungan liyan, lingkungan yang berseberangan dengan mereka.

Untuk konteks Indonesia, yang sedari awal dan dari sejarah pembentukannya memang terlahir dari beragam suku, ras, bahasa dan adat yang beraneka ragam, tugas melahirkan dan merawat semangat keberagaman namun tetap menjunjung persatuan memang sedikit kompleks dibandingkan dengan konteks bangsa-bangsa yang homogen.

Yang perlu dihindarkan adalah terbentuknya ideologi yang sanggup menyatukan keberagaman suku dan ras dengan landasan keyakinan yang menghalalkan kekerasan.

Lahirnya entitas sosial semacam ini bisa menjadi ancaman di mana pun kapan pun dan bagi negara dan bangsa mana pun. Ancaman inilah yang coba diperagakan oleh organisasi teroris berskala global dengan mengatasnamakan agama.

Tampaknya, peluang bagi generasi muda untuk memperoleh program-program pendidikan inklusif, yang membuka horison pemikiran mereka seluas-luasnya perlu dibuka aksesnya lebar-lebar oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun organisasi sosial nonpemerintah.

Dulu program kegiatan kepramukaan seperti jambore nasional yang memperkenalkan remaja dari berbagai latar belakang menjadi sarana pendidikan karakter yang diyakini berguna dalam memupuk visi keragaman.

Program kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan yang aktif dalam dialog antariman juga bisa ampuh dalam membuka wawasan generasi muda untuk melihat berbagai kemungkinan kebenaran di berbagai ranah kehidupan.

Sesungguhnya, asal punya minat untuk menggali pengetahuan sedalam-dalamnya, seseorang tetap bisa toleran tanpa harus melakukan aksi atau penjelajahan lintas bacaan atau teks antariman.

Artinya, dalam satu sistem keagamaan, di agama apapun, keragaman visi itu sudah terkandung. Dalam konteks Islam misalnya, ada begitu banyak pandangan yang berasal dari mashab-mashab, yang bisa dijadikan pedoman untuk menghayati sebuah pesan profetik bahwa perbedaan itu adalah rahmat.

Dalam khazanah risalah keislaman tersebutlah sebuah ungkapan bijak dari seorang ulama sebagai berikut: pendapatku benar namun mengandung kemungkinan salah, pendapatmu salah namun mengandung kemungkinan benar.

Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa manusia berpotensi secara proposional untuk salah dan benar. Tak seorang pun berhak mendaku bahwa dirinyalah yang paling benar.

Dengan demikian, tanpa terlibat dialog antariman pun, seseorang bisa menjadi toleran dan berlapang dada dalam menerima perbedaan. Lebih afdol lagi bila penjelajahan kebenaran yang relatif dan fana itu dilakukan dengan melintasi batas-batas keimanannya sendiri.

Oleh M Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017