Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati, menekankan alasan mendasar mengapa revisi UU Bank Indonesia dan Undang-Undang Perbankan perlu dilakukan.

Urgensi revisi kedua UU itu, kata dia, di Jakarta, Senin, tidak sekadar dilatarbelakangi fragmentasi atau pemisahan kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ataupun isu kepemilikan asing maupun isu konglomerasi pada industri perbankan.

"Substansi yang lebih mendasar yaitu terkait fakta empiris bahwa penempatan kebijakan moneter yang hanya fokus menjaga stabilitas perekonomian ternyata tidak cukup mampu mendorong tercapainya kesejahteraan umum," ujar Hartati.

Kesejahteraan umum, lanjut dia, dapat dilihat melalui pencapaian pertumbuhan yang berkualitas, pemerataan atau mengurangi kesenjangan, kesempatan kerja, dan dukungan yang cukup bagi berkembangnya UMKM.

Dia menuturkan, revisi UU BI harus lebih menegaskan posisi independensinya secara eksplisit bahwa arah independensi BI adalah dari sisi instrumen. Sementara dari sisi tujuan, BI tidak bisa independen dari tujuan nasional.

"Dari sini, penyeimbangan antara fungsi BI sebagai agen stabilisasi dan agen pembangunan perlu dilakukan dengan penguatan UU BI yang selaras dengan tujuan nasional," katanya.

Sementara itu, revisi UU Perbankan harus mengarah pada upaya untuk menciptakan kedaulatan sektor keuangan, pembentukan modal dalam negeri, serta mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan.

Optimalisasi fungsi intermediasi perbankan itu antara lain seperti peningkatan akses kredit bagi UMKM, distribusi likuiditas (kredit) secara lebih merata ke daerah-daerah di Indonesia sebagai fungsi-fungsi agen pembangunan," ujar dia.

Dalam perekonomian modern, menurut dia, Bank Indonesia sebagai bank sentral merupakan "jantung" kehidupan, sementara sistem perbankan seperti "aliran darah" dalam tubuh manusia. Sehingga kalau fungsi BI dan sistem perbankan terganggu, maka perekonomian akan sakit.

Salah satu hal penting pasca krisis moneter 1997/1998 adalah terjadi reformasi BI dan perbankan di mana BI menjadi lembaga independen dan tegaknya prinsip makro dan mikroprudensial dalam pengelolaan perbankan di Indonesia dimana rupiah stabil, inflasi terkontrol, dan terdongkraknya kembali pertumbuhan ekonomi.

Namun kini, lanjut Hartati, setelah satu setengah dasawarsa, reformasi BI dan perbankan yang notabene berhasil menjadi faktor tercapainya stabilitas makroekonomi, kondisi tersebut amat tidak cukup.

"Hal itu karena negara belum berhasil menciptakan "kesempatan kerja" bagi setiap warga negara yang layak sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945) dan pembangunan ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana Pasal 33 ayat 3 UUD 1945," ujar dia. 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017