Evy Ayu Arida sebelumnya tak pernah terbayang akan bergaul akrab dengan hewan semacam reptil dan amfibi. Dulu, ketika menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Biologi, Universitas Gajah Mada, dia memang memilih tikus sebagai hewan penelitiannya, tetapi keakrabannya dengan reptil dan amfibi, itu cerita lain.

Salah satu peneliti herpetofauna di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu berbagi cerita kalau awalnya dia dipaksa untuk menjadi seorang Herpetolog.

Ketika direkrut oleh LIPI sekitar 17 tahun silam, dia diminta untuk mengisi bangku herpetolog yang saat itu kosong.

"Awalnya saya sempat menolak, kalau saya pindah bisa enggak? Tapi pihak LIPI bilang kalau mereka merekrut saya untuk menjadi seorang herpetolog," kata Evy kepada "Antara" di Gedung LIPI, Jakarta, Rabu (8/3).

Keengganannya untuk menjadi herpetolog bukan tanpa alasan, karena, menurutnya, hewan amfibi dan reptil bukan hewan yang mudah dipegang.

Dia mengakui, pada awalnya merasa jijik ketika memegang tekstur hewan jenis ini yang berlendir dan bersisik.

Alasan ini pula yang membuat jumlah herpetolog perempuan di Indonesia saat ini masih terbilang sedikit.

"Tapi saya coba dan terus berusaha sampai akhirnya bisa terus berada di bidang ini selama 17 tahun. Awalnya saya mencoba untuk kreatif dan menganggap ini sebagai ujian yang harus saya hadapi," kata dia.

Selama 17 tahun berselang menggeluti profesi ini tentu perasaan jijik yang pertama kali dia rasakan mulai berubah.

Kini, Evy justru mengaku telah mencintai bidang yang ia dalami.

Hewan herpetofauna juga yang membawanya meraih dua gelar akademik, yakni master of sciense dari Flinders University Adelaide di Australia pada 2005 dan doktor rerum naturalium dari Rheinische Friedrich-Wilhelms-Universitat di Bonn, Jerman, pada 2011.

"S2 saya meneliti Kadal Australia sebagai objek penelitian dan di disertasi saya meneliti biawak komodo," ucap dia.

Evy menuturkan, 17 tahun menjadi herpetolog tentu banyak pengalaman yang telah ia jalani.

Salah satu contohnya ketika dia meneliti kadal Australia yang cukup unik karena ekornya memiliki duri seperti duri pada bunga mawar.

"Bagaimana saya harus memegangnya? Panjangnya sekitar 20cm dan sebagiannya adalah ekor yang berduri. Saya mencari titik lemahnya, karena duri di ekor dia itu dibutuhkan untuk mempertahankan dirinya dari ancaman," ucap dia.

Selama dia menggeluti dunia ini pula dia mulai melihat perkembangan yang cukup menjanjikkan dari masa ke masa.

Menurut dia, dalam 10 terakhir, kajian hertepofauna mulai banyak diminati. Hal ini juga menunjukkan mulai ada keragaman dalam objek penelitian.

"Sekarang juga mulai banyak perempuan yang meneliti reptil dan amfibi. Bahkan saya ada dua bimbingan S2 di IPB, mereka perempuan. Yang satu meneliti biawak di Sumatera dan satunya lagi meneliti cicak," ucap dia.

Evy tak memungkiri kalau hasil penelitiannya tidak dapat memiliki andil besar untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Karena kebanyakan hasil penelitiannya merupakan ilmu dasar, di mana hasil penelitian dijadikan sebagai data ilmu.

Tapi bukan berarti apa yang ia lakukan tak bisa diserap dengan mudah oleh khalayak umum.

Dia bercerita penelitiannya juga dapat bermanfaat untuk mengedukasi anak-anak.

"Biasanya anak hanya sekedar dijelaskan dan dikenalkan orang tua mengenai hewan anjing dan kucing saja misalnya, padahal belum tentu. Ternyata masih banyak hewan lainnya. Tapi di keluarga biasanya ditanamkan pola pikir, selain hewan anjing dan kucing, hewan lain jahat, misalnya ular, karena berbisa dan beracun, padahal belum tentu benar. Tergantung bagaimana reaksi kita pada hewan," ucap dia.

Selain itu, melalui penelitiannya juga dia bisa memberikan saran untuk meminimalisir konflik antara hewan dengan manusia yang sering terjadi di beberapa daerah.

"Seperti di Pulau Rinca (Nusa Tenggara Timur) misalnya, masyarakat yang kebanyakan nelayan kan biasa menjemur ikan di depan rumah mereka. Tapi pada saat yang bersamaan, komodo yang juga tinggal di sekitar daerah itu makan ikan juga, tapi mangsanya sudah berkurang karena eksploitasi manusia, maka tak heran kalau komodo mencari makan ke pemukiman warga," kata dia.

Mengenai hal seperti ini dia pun berpesan agar masyarakat mampu menjaga wilayah masing-masing dengan tidak mengeksploitasi secara berlebihan tempat hidup hewan.

"Komodo itu kan yang dimangsa ikannya, tapi karena ikan itu dijemur di pemukiman warga yang ada anak-anak, mau tak mau ada interaksi. Saya pikir konflik antara manusia dan hewan itu sudah lama terjadi, tapi bagaimana menyikapinya," ucap dia.

Seperti hewan lain, Evy menilai manusia juga bisa belajar banyak dari herpetofauna.

"Pengetahuan seputar kehidupan herpetofauna di Indonesia juga makin baik, sehingga kita bisa mengusahakan upaya konservasi yang lebih baik. Hasil akhirnya, habitat dan keseimbangan lingkungan yang terjaga," ucap dia.

Dengan segala tantangan yang dihadapi, tak ada alasan bagi Evy untuk tak menikmati profesinya ini, karena, menurutnya, selama kita mau berusaha pasti akan ada keberhasilan di sana.

"Saya sih berpegang pada semboyan tak kenal maka tak sayang. Begitu pun ketika saya memegang bidang ini. Kenali dulu nanti rasa cinta tumbuh sendiri," ucap dia.

Oleh Aubrey Kandella Fanani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017