Jakarta (ANTARA News) - Dubber alias penyulih suara adalah aktor tanpa wajah. Bisa jadi suaranya familier di telinga penonton, tapi jarang ada yang tahu seperti apa penampilan aslinya. Berbeda dengan aktor atau aktris ternama yang banyak dikenal orang, para dubber berada di balik bayang-bayang.

Seringkali profesi ini hanya dilihat sebelah mata. 

Kurangnya apresiasi — terutama soal honor— membuat sebagian penyulih suara mengambil banyak proyek sekaligus dalam satu waktu. Mereka wara-wiri ke beberapa studio untuk mengisi banyak suara demi membuat dapur terus mengepul. 

Santosa Amin, pengisi suara Spongebob Squarepants pada awal 2000-an, berpendapat terlalu banyak mengambil proyek bisa mempengaruhi kualitas hasil sulih suara. Bekerja di bawah kejaran waktu demi pekerjaan berikutnya bisa jadi penghalang dubber bekerja optimal. 

“Kalau dibayar pantas, dubber juga akan bekerja sebaik-baiknya,” ujar pria yang sudah sewindu jadi dubber Suneo dalam Doraemon.


Ada juga kasus di mana seorang dubber harus mengisi banyak karakter dalam satu tayangan. Santos pun pernah mengalaminya. Dalam satu tayangan, ia harus mengisi sembilan karakter dalam film mandarin. Akibatnya, ia kebingungan membedakan suara dari satu karakter ke karakter lain.

“Saya minta preview, ‘ini tadi suaranya yang mana ya?’”.

Apakah beban itu juga terjadi di dunia sulih suara luar negeri? Santos menjawab tidak.

“Di luar negeri mereka punya uang.”


Ia kini berusaha memegang idealisme dengan mengandalkan kualitas ketimbang kuantitas sebagai upaya mengubah kenyataan pahit. 


“Saya berani nego saja lah ya. Perkara enggak diterima, ya bukan rezeki saya, ha-ha-ha.”


Dia ingin mengerjakan setiap proyek sebaik-baiknya. Prinsipnya, honor yang pantas menjadi garansi agar dubber berkarya dengan kualitas terjamin.


Masa keemasan


Dubber pernah mengalami masa keemasan ketika persaingan belum ketat, juga sebelum ada larangan sulih suara oleh Menteri Penerangan pada dua dekade silam.

“Saya dulu menikah dari uang hasil tabungan kerja dubbing, lho,” kata Hana Bahagiana, pengisi suara Naruto.


Denis Setiano, pengisi suara Mickey Mouse, mengungkapkan honor dubber saat itu jauh lebih memuaskan. Ia berpendapat saat itu bayaran lebih besar karena jumlah penyulih suara, studio dubbing dan stasiun televisi belum sebanyak sekarang.


“Sebelum krisis moneter penghasilan bisa sekitar Rp9-10 juta, ketika (satu) dolar (AS) masih Rp2.500,” ungkap Denis.


Ketika pemerintah melarang sulih suara, nasib dubber terombang-ambing. Ada yang banting setir jadi pedagang pakaian hingga sales sabun. 


“Dulu saya masih kuliah, jadi tidak terlalu berpengaruh.”


Setelah sulih suara kembali diperbolehkan, para dubber kembali bermunculan. Namun sayangnya besaran honor mereka jalan di tempat meski harga-harga lain sudah melonjak. 


Persatuan Sulih Suara Indonesia (PERSUSI) dianggap tidak bisa mewadahi keluh kesah dubber yang ingin meningkatkan kesejahteraan. 


"Sempat ada usul, bagaimana kalau semua kompak mogok dubbing sebelum harga bagus, tapi perut kan tidak bisa kompromi."

Pada akhirnya ada sebagian yang mau tak mau menerima tawaran sulih suara meski bayarannya tidak seberapa. 

Penyulih suara tetap bisa mendulang banyak uang, asal mau bekerja di banyak studio. 

"Kalau mikirin itu memang menyedihkan, tapi sekarang bagaimana caranya kamu memilih tempat."

Ada sebagian tempat yang mematok besaran honor lebih besar ketimbang yang lain, sehingga tak perlu menerapkan prinsip "hajar bleh" atau banting setir demi pendapatan layak. 


"Tapi tidak banyak tersebar, karena mereka menjaga kualitas. Yang sudah menawarkan harga bagus pasti mengharapkan hasil bagus."



Naskah

Ada kalanya dubber harus berimprovisasi karena panjang dialog tidak pas dengan durasi lipsync karakter yang dimainkan. Mereka bisa mengurangi atau menambah kata-kata asal tidak mengubah artinya. Tapi mereka bisa juga apes bila mendapat naskah yang diterjemahkan asal-asalan.

“Kadang ada yang parah, dapat naskah yang diterjemahkan dari Google Translate,” ungkap Santos.


Agus Nurhasan, pengisi suara Pria Bertopi Kuning dalam animasi “Curious George” dan Fujiwara no Sai di “Hikaru no Go” menyuarakan hal senada. Naskah dengan terjemahan jelek hanya membuat waktu dubber terbuang karena mereka jadi bekerja dua kali.


“Harus menerjemahkan ulang lagi,” kata dia.


Selain itu, apresiasi untuk para dubber terasa semakin terkikis karena dalam beberapa tahun terakhir nama mereka tak lagi muncul di credit title.

Padahal ia masih ingat betapa girang perasaannya saat melihat namanya muncul di televisi. 

“Saya sampai kirim surat ke ibu.”

Ada kalanya seorang pengisi suara harus menunggu gilirannya selama berjam-jam di studio karena berbagai hal. Hana Bahagiana, pengisi suara Naruto, pernah mengalaminya. Suatu waktu ia mendapat tawaran dadakan. Setelah bergegas ke studio, rupanya naskah dialog belum rampung.

“Saya datang dari pagi, dubbing baru mulai jam tujuh malam,” kenang pengisi suara Luffy dalam One Piece itu.

Di sisi lain, banyak hal menyenangkan yang dirasakan para dubber. Kadang kala ada pekerjaan yang membuahkan rasa stres, tapi sulih suara terasa menyenangkan bagi Hana. Terutama bila ia memang mendapat karakter yang lucu dan seru.

Hana yang lebih sering mengisi suara tokoh kartun juga bisa lebih dulu mengetahui sedikit banyak episode baru yang belum tayang.

"Juga rasanya jadi awet muda," kata penyulih suara yang hobi memasak ini. 

“Pola pikir saya jadi terbawa seperti kartun. Misalnya saat macet, saya membayangkan roda bisnya jadi tinggi, jadi bisa melewati kendaraan lain.”

Kadang kala bakat membuat macam-macam suara dipakai untuk mengisengi orang lewat telepon, misalnya dimintai temannya untuk menirukan suara kebapakan demi meminta izin libur. Ada pula yang berpura-pura jadi orang lain untuk mengerjai balik orang berusaha menipu lewat telepon.

Nurhasanah sudah 24 tahun mengisi suara Doraemon (ANTARA News/ Nanien Yuniar).

Nurhasanah kadang berbicara dalam suara Doraemon untuk membuat cucu-cucunya tertawa. Belakangan, cucunya kadang-kadang berusaha meniru suara serak si kucing robot.

“Saya tanya ‘gimana suara Emon?’, pada ngikutin,” ujarnya seraya tersenyum.

Lain lagi dengan Santosa yang kerap membawakan dongeng pengantar tidur dengan suaranya yang bermacam-macam untuk putra semata wayang yang berusia enam tahun.

Pada akhirnya hanya kecintaan besar yang membuat para penyulih suara masih bertahan jadi pekerja lepas selama bertahun-tahun dengan penghasilan yang tak tentu tiap bulan.

“Saya akan terus jadi dubber selama masih mampu dan ada yang butuh suara saya,” imbuh Santos.

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2017