Jakarta (ANTARA News) - KPK mengonfirmasi proses penganggaran proyek monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla) kepada anggota Komisi I DPR dari fraksi Golkar Fayakhun Andriadi dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan suap terkait pengadaan alat tersebut.

"Penyidik sudah mempelajari fakta persidangan dan hari ini kita memanggil saksi untuk memperdalam dan mengonfirmasi kembali fakta yang sudah muncul di persidangan. Salah satu yang didalami dan dibahas juga oleh penyidik adalah penganggaran," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa.

Fayakhun diperiksa untuk tersangka Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan.

"Secara rinci kami belum bisa buka informasi penyidikan terkait dengan pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka," tambah Febri.

Fayakhun seusai diperiksa pun enggan mengungkapkan materi npemeriksaannya tersebut.

"Saya sudah bertemu pemeriksa dan sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan," kata Fayakhun singkat dan langsung masuk ke mobil Toyota Innova hitam B 2980 SKH yang menjemputnya.

Selain itu, KPK juga akan menghadirkan Kabakamla Arie Sudewo sebagai saksi di persidangan selanjutnya.

"Ada konfirmasi dari pihak Bakamla bahwa Kabakamla akan hadir di persidangan berikutnya. Kami berharap komitmen yang kuat dari Panglima TNI dan jajarannya kemudian bisa memastikan informasi dibuka di persidangan, bisa diproses secara baik," tambah Febri.

Dalam dakwaan Direktur Utama PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah, Nofel disebut menerima 104.500 dolar Singapura yang diberikan Fahmi melalui anak buah Fahmi, Adami dan Hardy.

Sebelumnya KPK sudah menetapkan empat orang tersangka dalam perkara ini yaitu penerima suap mantan Deputi Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi yang juga Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) TA 2016 karena diduga menerima suap sebesar 100 ribu dolar Singapura, 88.500 ribu dolar AS, 10 ribu euro, dan tiga tersangka pemberi suap yaitu Direktur Utama PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah, marketing/opreasional PT Merial Esa Hardy Stefanus dan bagian operasional PT Merial Esa Adami Okta.

Selain Eko dan Novel, uang suap juga diduga mengalir ke Direktur Data dan Informasi Bakamla merangkap Pejabat Pembuat Komitment (PPK) Bambang Udoyo sebesar 105 ribu dolar Singapura dan Kasubag TU Sestama Bakamla Tri Nanda Wicaksono Rp120 juta sehingga total suap adalah 309.500 dolar Singapura, 88.500 dolar AS, 10 ribu euro dan Rp120 juta.

Sedangkan Kabakamla Arie Sudewo dalam dakwaan disebut meminta jatah 7,5 persen dari total anggaran pengadaan proyek "monitoring satellite" (satmon) di Bakamla. Permintaan itu disampaikan pada sekitar Oktober 2016 di ruangan Arie yang menyampaikan kepada Eko Susilo Hadi agar meminta jatah 15 persen nilai pengadaan untuk Kabakamla, sedangkan 7,5 persen untuk Bakamla dan akan diberikan dulu sebesar dua persen.

Adami Okta dan Hardy Stefanus juga memberikan enam persen dari anggaran awal yaitu Rp400 miliar sebesar Rp24 miliar ke Ali Fahmi pada 1 Juli 2016 di hotel Ritz Carlton Kuningan.

Ali Fahmi adalah orang yang menawarkan kepada Fahmi untuk "main proyek" dengan harus mengikuti arahan Ali Fahmi supaya dapat menang dengan memberikan fee sebesar 15 persen dari nilai pengadaan.

Fahmi Darmawansyah pun pernah menyebutkan berdasarkan keterangan Ali Fahmi kepadanya bahwa uang Rp24 miliar dari Fahmi Darmawansyah diberikan ke pihak-pihak lain seperti Balitbang PDI Perjuangan Eva Sundari, anggota Komisi XI DPR RI dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Bertus Merlas, anggota Komisi I DPR RI dari fraksi Partai Golkar Fayakun Andriadi, Bappenas dan Kementerian Keuangan.

(T.D017/J003)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017