Pekanbaru, Riau (ANTARA News) - Pusat Penelitian Kehutanan Internasional atau CIFOR meneliti kondisi lahan gambut di Desa Tanjung Leban Kabupaten Bengkalis, Riau.

Mereka memantau jangka panjang dinamika sirkulasi karbon lahan gambut yang sebelumnya terbakar dan telah direstorasi melalui penanaman dan pembasahan kembali.

"Penelitian akan berlangsung selama tiga sampai lima tahun, dengan mengukur sejumlah parameter di tiga plot pengamatan yang berbeda," kata Ilmuwan Utama CIFOR, Prof Daniel Murdiyarso PhD, di Desa Tanjung Leban, Rabu. CIFOR satu-satunya LSM kehutanan internasional yang berkantor pusat di Indonesia, yaitu Bogor.

Ia menjelaskan terdapat plot permanen di tiga tutupan lahan berbeda, yakni di hutan campuran, kelapa sawit dan tanaman karet. Lokasinya berada di lahan milik warga yang sebelumnya sempat terbakar, yakni di Desa Tanjung Leban yang berjarak sekitar 256 kilometer dari Pekanbaru, Riau.

Lahan itu memiliki kedalaman gambut berkisar lima hingga delapan meter.

Parameter yang diamati meliputi cadangan karbon, kedalaman gambut, fluktuasi muka air, produk primer neto (NPP), dan perubahan elevasi permukaan. CIFOR memasang sejumlah peranti penelitian sejak bulan Februari 2017, dengan melibatkan dosen dan mahasiswa Universitas Riau serta masyarakat setempat.

Menurut dia, restorasi gambut melalui pembasahan dan revegitasi tetap akan sulit mengembalikan lahan gambut seperti kondisi awal sebelum rusak.

Gambut (alias peat) yang kedalamannya bisa sampai puluhan meter di beberapa tempat di Bumi, merupakan fraksi bahan organik penyusun tanah hasil pelapukan material organik di permukaan Bumi sejak ratusan ribu tahun lalu. Secara umum, tanah terdiri dari tiga fraksi pokok, yaitu bahan organik, liat, dan pasir.

Gambut terdiri dari partikel berukuran mikro dan memiliki lapisan lilin palsu (pseudowax), yang kemudian keluar dan memiliki karakter melapisi partikel gambut jika gambut itu kering. Lapisan lilin palsu inilah yang mencegah partikel gambut kembali basah menyerap air setelah dia kering.

Jika dia kering sama sekali ditambah liputan lapisan lilin palsu itu, partikel gambut dengan nilai kandungan kalorinya yang cukup tinggi menjadi sangat mudah terbakar.

Bahkan tanpa kehadiran lidah dan percikan bunga api sekalipun, gambut kering bisa terbakar hanya karena "jebakan panas" alami di dalam tanah. Dengan begitu, gambut jangan sampai kering sama sekali.

Meski begitu, konservasi lahan gambut bukan semata untuk objek tontonan, melainkan pemanfaatannya perlu memastikan gambut tidak dikeringkan agar tidak merusak fungsinya dan tidak rentan terbakar.

Penelitian itu diharapkan bisa menjadi acuan bagaimana seharusnya lahan gambut dapat digunakan dengan penggunaan tanaman yang menghasilkan secara ekonomi, di antaranya karet, kelapa sawit, dan tanaman lain yang dibutuhkan pasar.

"Bukan manfaat karena ada proyek, karena itu bisa pergi, melainkan manfaat jangka panjang memberi manfaat kepada masyarakat," ujarnya.

Warga pemilik lahan, Muhammad Nur, mengatakan, kondisi lahannya secara kasat mata menjadi lebih baik setelah direstorasi dengan cara menyekat kanal bantuan dari UNDP pada 2015.

"Sebelumnya lahan ini ditanami kelapa sawit dan terbakar hebat pada 2008 dan setelah itu kebanjiran sampai empat bulan, jadi tidak bisa digunakan lagi untuk menanam sawit," ujarnya.

Kemudian, lahan seluas satu Hektare itu menjadi lokasi penelitian ilmuwan Jepang bersama peneliti Universitas Riau dengan menanam pohon jelutung pada 2010.

Semenjak itu, lahannya tidak pernah terbakar karena gambut terus berair namun lahan kelapa sawit disebelahnya tidak bisa berbuah maksimal meski sudah berumur delapan tahun.

"Saya merelakan lahan saya ini untuk penelitian dan ditanami pohon asli hutan seperti bintangor, meranti bakau dan kayu kelat supaya generasi muda nanti tahu tanaman ini pernah hidup di desa ini. Hanya pohon jelutung yang bukan asli dari sini, jadi tidak tahu nanti digunakan untuk apa karena belum ada pengolahan getahnya disini," katanya.

Pewarta: FB Anggoro
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017