Jakarta (ANTARA News) - Otoritas Jasa Keuangan belum menentukan langkah konkret terkait terkuaknya kasus penjualan data nasabah oleh oknum karyawan bank, namun menyarankan masyarakat agar berhati-hati saat mengisi formulir identitas yang ditawarkan perbankan.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso di Jakarta, Jumat, mengatakan masyarakat perlu membaca secara cermat formulir identitas yang disodorkan bank saat ingin membuka rekening atau menggunakan jasa perbankan lainnya.

Dalam formulir tersebut, kata Wimboh, terdapat sub bagian mengenai diperbolehkannya atau tidak bank menggunakan data nasabah perbankan.

Masyarakat, kata dia, harus sadar dan cermat saat mengisi sub bagian tersebut, karena terdapat konsekuensi yang ditanggung masyarakat.

"Masyarakat harus paham saat isi formulir karena itu kan data pribadinya. Di formulir itu harus dibaca ada tidak yang memberikan otoritasi kepada pihak lain agar informasinya dberikan ke orang lain untuk diperjualbelikan. Kadang-kadang masyarakat tidak dibaca terus tanda tangani saja tidak melihat otoritasi itu," kata Wimboh.

Ketika ditanya terkait langkah OJK untuk mencegah terjadi kembalinya penjualan data oleh oknum karyawan bank kepada instansi lain, Wimboh mengatakan "OJK kalau melarang, tapi kalau yang bersangkutan (nasabah) ngasih gimana dong ?,".

Wimboh mengatakan OJK meminta kepada bank agar transparan kepada nasabah, termasuk mengenai penggunaan data nasabah tersebut.

"Maka itu harus ada transparansi, harus dipilih boleh apa tidak dibagi datanya."

"Kalau banknya kan yang kita atur banknya harus transparan, banknya harus memberitahukan tapi masyarakatnya juga harus paham dengan membaca seluruh formulir yang harus diisi," ujar dia saat ditanya apakah OJK akan meminta bank untuk mengedukasi nasabah terkait data pribadi.

Wimboh menyatakan hal tersebut saat disinggung mengenai terkuaknya tindakan jaringan penjualan data nasabah.

Badan Reserse Kriminal Mabes Polri pertengahan pekan ini menangkap salah satu jaringan penjualan data nasabah bank, yang berinisial C (27 tahun). C ditengarai telah melakukan praktik jual beli data nasabah perbankan sejak tahun 2010.

Caranya dengan mengumpulkan data nasabah dari bagian pemasaran bank.

"Tersangka mulai mengiklankan penjualan data nasabah yang dia miliki sejak tahun 2014 melalui website www.jawarasms.com, www.databasenomorhp.org, http://layanansmsmassal.com, http://walisms.net/, serta akun Facebook dengan nama Bang Haji Ahmad, dan akun pada situs penjualan online (e-commerce)," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusis Brigjen Pol Agung Setya.

Karena penjualan data ini, nasabah bank dirugikan dengan terbukanya data pribadi mereka dan menjadikan nasabah sebagai pasar empuk aneka tawaran mulai kartu kredit, asuransi melalui pesan pendek, email hingga telepon langsung.

Polisi mengaku mulai melakukan penyelidikan lantaran banyak aduan masyarakat atas penyalahgunaan data. Hasilnya, polisi mendapati C sebagai salah satu pelaku.

Calon pembeli data yang tertarik akan menghubungi C melalui nomor telepon yang tertera pada situs atau akunnya untuk kemudian melakukan transaksi.

Menurut keterangan polisi, C mematok harga bervariasi untuk paket data nomor telepon nasabah mulai dari Rp 35.000untuk 1.000 nomor nasabah hingga Rp 1,1 juta untuk paket data berisi 100.000 nasabah.

Merujuk Undang-Undang Perbankan, data nasabah perbankan dilindungi kerahasiaannya dan tidak boleh disebar ke pihak manapun, tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan.

Tersangka C diketahui menggunakan uang hasil penjualan data nasabah untuk keperluan pribadinya semenjak tahun 2014 sampai sekarang.

Atas perbuatannya, tersangka C dijerat dengan pelanggaran Pasal 47 ayat (2) jo Pasal 40 UU No 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU no 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan atau Pasal 48 jo Pasal 32 ayat (2) UU No 11 Tahun 1998 tentang ITE dan atau PAsal 378 KUHP dan atau Pasal 379a KUHP dan atau Pasal 3 dan atau Pasal 4 dan atau Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 9 tahun.

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017