Jakarta (ANTARA News) - Kekerasan yang dilakukan Junta Militer Myanmar terhadap etnis Rohingya di Provinsi Rakhine, Myanmar bukan merupakan konflik antar-agama.

Meskipun mayoritas etnis Rohingya beragama Islam, publik dapat melihat jelas dari fakta-fakta yang ada bahwa kekerasan yang dilakukan Militer Myanmar, yang mayoritas beragama Budha, adalah sebuah tragedi kemanusiaan.

Buktinya, umat Budha di seluruh dunia, tak terkecuali di Tanah Air, juga turut mengecam kekerasan yang menyebabkan ratusan ribu etnis Rohingya harus melarikan diri ke sejumlah negara tetangga itu.

Di Kota Palu, umat Budha ikut memberikan dukungan dan kepedulian terhadap konflik yang menimpa umat muslim Rohingya di Myanmar dalam bentuk pembukaan posko peduli muslim Rohingya. Langkah ini menunjukkan betapa isu agama tidak mutlak bisa dipercaya sebagai akar masalah di Rakhine.

Oleh karena itu, seluruh umat beragama harus bersatu mengatasi konflik di Myanmar, tanpa melihat suku, agama, ras dan antargolongan.

Menurut Koalisi Pemuda dan Masyarakat Pro-NKRI (KPMP NKRI), konflik yang terjadi di Myanmar dilandasi oleh masalah ekonomi, ketimpangan sosial serta ketidakadilan yang terjadi menahun sehingga bereskalasi menjadi sebuah konflik besar.

Isu konflik agama yang dikaitkan dengan tragedi kemanusiaan di Rakhine, hanya merupakan upaya untuk memperkeruh situasi. Isu agama semacam ini mudah ditunggangi kelompok teror, misalnya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Pemerintah, pemuka agama, tokoh masyarakat perlu mengimbau masyarakat agar tidak terpancing dengan informasi yang menyatakan konflik Myanmar sebagai konflik agama.

Sebab hal itu sama saja memperluas dan membawa konflik di Myanmar ke Tanah Air.

Publik juga harus jeli memilah informasi yang diterima, khususnya yang berasal dari media sosial.

Tidak sedikit informasi di media sosial yang mengaitkan konflik Myanmar sebagai penindasan kelompok Budha terhadap kelompok Islam. Info tersebut seakan hanya mengadu domba antara dua umat beragama yang selama ribuan tahun hidup berdampingan dalam damai bersama-sama dengan pemeluk agama lainnya.

KPMP NKRI menekankan, jika faktanya banyak kelompok Muslim di Indonesia bahkan seluruh dunia mengecam kekerasan tersebut, maka kecaman tersebut patut dimaklumi sebagai bentuk solidaritas atas nama kemanusiaan terlepas apapun suku, agama, ras dan golongannya.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, KPMP NKRI menegaskan bahwa seluruh umat beragama khususnya Budha di Indonesia adalah saudara sebangsa dan setanah air yang selama ratusan tahun hidup damai berdampingan di bumi nusantara dalam keberagaman.

Seluruh umat beragama di Tanah Air tidak boleh terkotak-kotak dalam mengatasi konflik di Rohingya.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) juga sependapat bahwa konflik di Myanmar bukan konflik antara agama Islam dengan Budha.

Menurut Cak Imin, tidak sedikit pihak yang mengaitkan konflik tersebut dengan isu agama karena melihat fakta di permukaan saja, di mana mayoritas masyarakat Myanmar memeluk agama Budha sedangkan etnis Rohingya beragama Islam.

Cak imin meminta seluruh pihak membantu Rohingya. Dia juga telah meminta seluruh lapisan di PKB menyumbangkan gajinya untuk membantu etnis Rohingya.

Menurut Cak Imin, PKB juga telah mencoba meminta kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membuka akses menyalurkan bantuan dari seluruh dunia untuk etnis Rohingya.

Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman meyakini masyarakat Indonesia dapat menyikapi secara dewasa persoalan di Rakhine, Myanmar, serta berpartisipasi menjaga agar masalah di sana tidak terseret ke ranah agama di Tanah Air.

Menurut Sohibul, Indonesia sebagai bangsa yang beragam dan mendukung perdamaian dunia, sudah sepatutnya bertindak dengan diplomasi agar konflik tidak berlanjut.

Duta Besar RI untuk Myanmar Ito Sumardi mengimbau masyarakat Indonesia untuk cermat melihat konflik di Rakhine dan tidak melakukan aksi-aksi yang dapat membuat hubungan kedua negara menjadi rusak dan menggagalkan upaya diplomasi yang tengah dibangun pemerintah Indonesia.



Upaya Diplomasi

Pemerintah Indonesia terus melakukan upaya diplomasi untuk mengakhiri kekerasan terhadap etnis Rohingya di Myanmar.

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menekankan diperlukannya aksi nyata untuk mengakhiri kekerasan terhadap etnis Rohingya.

Presiden kembali memerintahkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menemui Menlu merangkap Konselor Negara Republik Persatuan Myanmar Aung San Suu Kyi yang merupakan pemimpin Partai Liga Demokrasi Nasional, untuk mengatasi persoalan tersebut.

Sebelumnya Retno dan Suu Kyi sudah pernah menjalin komunikasi di Myanmar pada tanggal 6 dan 19 Desember 2016.

Sebagai upaya konkret, sejauh ini Indonesia telah mendirikan enam sekolah di Rakhine, dan juga membantu bahan pangan serta obat-obatan. Pemerintah RI juga sedang memulai membangun rumah sakit yang cukup besar di Rakhine.

Pemerintah Indonesia juga telah berdiplomasi dengan sejumlah kalangan internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pemerintah Bangladesh selaku negara yang juga "kebanjiran" pengungsi etnis Rohingya, serta pemerintah Turki yang turut memberikan perhatiannya kepada masalah ini.

Upaya diplomasi ini seyogyanya didukung seluruh elemen masyarakat di Indonesia dengan tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat memperkeruh situasi hubungan kedua negara. 

Oleh Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017