Jakarta, (ANTARA News) - Presiden Timor Leste Ramos Horta menuding wartawati Metro TV Desi Anwar membantu tokoh pemberontak, Alfredo Reinaldo, dalam insiden serangan terhadap Horta di Dili, 11 Februari 2008. Dalam keterangan pers dengan media internasional pekan lalu, Horta yang baru sembuh dari perawatan luka tembak di sebuah rumah sakit di Australia, paling tidak menyebut tiga kali nama Desi Anwar untuk memperkuat tuduhannya. "Tuan Alfredo Reinaldo memiliki banyak kontak di Indonesia. Ia pergi ke negeri itu dengan dokumen palsu. Siapa yang memberikan dokumen palsu itu kepadanya di Atambua? Kami tahu siapa yang melakukannya," kata Horta. Wartawan yang hadir menunggu dengan antusias kalimat berikutnya dari mulut Horta. Mereka ingin tahu apakah Presiden Timor Leste itu akan menyebut nama pihak yang membantu pemimpin kelompok tentara pembelot yang tewas dalam insiden serangan itu. Ini tentu bisa menjadi berita utama di media. Bisa jadi "breaking news". Horta lalu "feeding the beast" (istilah bagi media yang lapar terhadap berita besar) dengan menyebut sosok di belakang Alfredo. "Pihak berwenang di Atambua memberikan dokumen palsu dengan bantuan wartawati Metro TV Desi Anwar," ujar Horta. Semua yang hadir di konferensi pers itu tentu kaget. Tidak menduga sama sekali. Biasanya wartawan hanya melaporkan berita. Kali ini wartawan menjadi berita, bahkan dituding bersekongkol membantu kelompok pembunuh presiden! Horta berjanji akan melakukan "complain" ke lembaga wartawan internasional yang bermarkas di Brussel karena "tindakan mereka nyaris membuat saya, seorang presiden yang terpilih secara demokratis, terbunuh." Horta tidak akan bisa diam sampai "kebenaran" terbuka. "Bilamana perlu saya akan angkat masalah ini ke Dewan Keamanan PBB sebagai mana kasus pembunuhan terhadap Perdana Menteri Lebanon," ujar Horta. Berita tuduhan Horta bahwa wartawan Indonesia, Desi Anwar, terlibat dalam membantu serangan terhadap Presiden Timor Leste pun tersebar ke seluruh penjuru dunia. ANTARA menelpon Desi Anwar untuk mengecek kebenaran tuduhan itu. Wartawati itu mengatakan sambil terkekeh bahwa ANTARA bukan media pertama yang mempertanyakan kebenaran berita tersebut. Desi sudah ditelefon banyak pihak, dari dalam dan luar negeri, sebagian besar wartawan, yang ingin melakukan konfirmasi. Desi membantah keras tuduhan Horta yang mengatakan dirinya membantu Alfredo Reinado berkunjung ke Indonesia untuk wawancara pada 23 Mei 2007. "Ini sangat lucu dan tidak masuk akal. Sama sekali tidak benar," katanya. Sebelumnya, Horta diberitakan menuduh Desi Anwar membantu Alfredo Reinado berkunjung ke Indonesia untuk wawancara pada 23 Mei 2007. Terhadap tudingan itu, Desi Anwar mengaku hanya bisa tertawa. "Mudah-mudahan berita ini bukan bagian dari April Mop," katanya terkekeh. Ia menyayangkan seorang Presiden bisa menyampaikan tudingan yang tidak didasari bukti-bukti dan data yang akurat. Ia mendoakan Horta betul-betul sehat kembali. "Saya berdoa untuk kesembuhan Horta. Saya juga berdoa untuk masa depan negerinya," kata wartawati yang telah mewawancarai sejumlah tokoh seperti mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, Jenderal Pervez Musharraf, dan mantan Presiden Cina Jiang Zhemin. Bukan yang pertama Benarkah Desi Anwar Bantu Penembak Ramos Horta? Kasus Desi Anwar bukan yang pertama. Koresponden kantor berita Jiji Press di Filipina, Dana Batnag, juga mengalami nasib yang sama. Dana, yang pernah menepuh studi di Ateneo de Manila University, menjadi berita pada 24 Januari 2008. "Kawan kita Dana Batnag kini jadi berita. Ia dituduh oleh Kepolisian Nasional Filipina (PNP) telah membantu pemimpin kudeta, sehingga dia bisa keluar dari Hotel Peninsula, Manila, yang dijadikan markas tentara pemberontak," begitu "e-mail" yang terima ANTARA beberapa waktu lalu. Dana dituding telah memberikan kartu pers kepada Kapten Nicanor Faeldon sehingga pemimpin pemberontak itu bisa meninggalkan hotel bersama-sama dengan para wartawan dan lolos dari pandangan 1.500 polisi yang menyerbu hotel tersebut. Tentu saja Dana membantah. Ia hadir di Hotel Peninsula untuk meliput, bukan untuk membantu membebaskan pemberontak. Kamera CCTV memang merekam Dana sedang berbicara dengan Faeldon. Tapi itu sebuah wawancara dan dilakukan bersama-sama tiga lusin wartawan lain. Gambar CCTV, yang belakangan diputar oleh sejumlah stasiun televisi, tidak memperlihatkan Dana memberi Kapten Faeldon sebuah kartu pers sehingga dia bisa lolos dari pemeriksaan polisi. "Sangat tidak masuk akal kalau saya dituduh ikut membantu pelarian Kapten Faeldon," tegasnya. "Saya merasa tersanjung menjadi korban fitnah pemerintah terhadap pekerja media, tapi sejatinya saya tidak melakukan semua yang dituduhkan itu," katanya lagi. Respon organisasi pers Sangat menarik membandingkan kasus Dana Batnag di Filipina dengan Desi Anwar di Indonesia, terutama respon masyarakat dan tokoh media terhadap dua kasus serupa tapi tak sama itu. Asosiasi Koresponden Asing di Filipina (FOCAP), di mana Dana menjabat sebagai Wakil Ketua, mengeluarkan pernyataan yang mendukung wartawati tersebut. "Kami mendesak agar aparat menghentikan fitnah terhadap media," tulis FOCAP. Persatuan Wartawan Nasional Filipina (NJUP), semacam PWI di Indonesia, malah dengan gamblang menyatakan "laporan yang mengkaitkan wartawan dalam pelarian Kapten Faeldon dikeluarkan oleh penyebar rumor yang pengecut." "Kami menantang polisi untuk membuktikan tuduhan itu. Jika tidak, hentikan fitnah terhadap media," tulis NJUP. Organisasi wartawan itu yakin Dana hanya dijadikan kambing hitam dari kegagalan polisi menangkap pemimpin pemberontak. Itu di Filipina. Lain dengan di Indonesia. Hampir tidak satu tokoh media ataupun organisasi wartawan di Tanah Air yang memberikan perhatian kepada Desi Anwar. Seperti Dana Batnag, Desi dituduh membantu pemberontak. Tapi nyaris tidak ada yang membela. Desi dibiarkan sendirian membela diri. Kasihan. (*)

Oleh Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008