Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Tony A. Prasetyantono mengatakan, Bank Indonesia (BI) perlu menaikkan suku bunganya (BI rate) senilai 25 basis poin (bps) menjadi 8,25 persen untuk menjaga keseimbangan perekonomian.
"Inflasi saat ini tinggi, maka BI perlu untuk menaikkan 'BI rate' 25 bps menjadi 8,25 persen, ini angka yang kompromis," katanya.
Menurut dia, bila BI tidak menaikkan suku bunga acuannya, maka semakin susah untuk menekan tingkat inflasi yang pada April inflasi secara tahunan telah mencapai 8,96 persen.
"Kenaikan 25 bps ini fleksibel, sebab kenaikan tersebut tidak akan membuat tekanan yang kuat terhadap perbankan untuk menaikkan suku bunga kreditnya, dan bank masih ada ruang. Sehingga penyaluran kredit tidak tertekan, dimana saat ini perbankan sedang agresif dalam menyalurkan kredit," katanya.
Selain itu, ia menilai, dengan kenaikan suku bunga acuan, maka akan menghindari terjadinya arus modal keluar secara berlebihan.
"Investor asing akan melihat kenaikan ini sebagai hal yang baik, sebab saat ini inflasi telah lebih tinggi dari suku bunga," katanya.
Sedangkan, dari sisi kebijakan dengan kenaikan 25 bps cukup fleksibel. "Dengan kenaikan tersebut maka dilihat kembali bagaimana respon pasar, dan BI bisa saja nantinya meninjau kembali kebijakan itu," katanya.
Menurut dia, di bulan-bulan mendatang, ada kemungkinan inflasi yang mulai melambat dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Hal ini karena kemungkinan turunnya harga minyak dunia akibat berkurangnya permintaan.
"Bulan depan telah menghadapi musim panas, ini tentu akan berpengaruh terhadap permintaan minyak, dan kemungkinan harga minyak kembali menurun," katanya.
Sementara itu, bila BI menaikkan BI rate sampai 50 bps, menurut dia akan membuat kegoncangan di pasar karena peningkatan yang cukup besar.
"Dampaknya, perbankan juga akan mengalami tekanan terhadap bunga kreditnya, ini tentu perlu diperhitungkan," katanya menambahkan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008