Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah didesak meminta kenaikan bagian dari perolehan keuntungan tak terduga (windfall profit) yang diperoleh perusahaan-perusahaan minyak multinasional di Indonesia menyusul lonjakan harga minyak dunia. Potensi tambahan pendapatan negara dari rezeki nomplok yang diperoleh kontraktor migas asing itu diperkirakan mencapai Rp26,5 triliun, kata Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Effendi Siradjuddin di Jakarta, Rabu. Rezeki nomplok tersebut bisa digunakan untuk mengurangi beban masyarakat yang kian terpuruk akibat kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kata Effendi. Menurut dia, angka Rp26,5 triliun didapat dengan menggunakan asumsi faktual seputar aktivitas pengusahaan minyak di Indonesia yaitu produksi 1,0 juta barel per hari (bph) atau 360 juta bph/tahun dan harga minyak 110 dolar AS per barel serta menggunakan basis harga 70 dolar AS per barel. Dengan memakai sejumlah asumsi tersebut, pendapatan "windfall profit" --dari selisih harga pasar terhadap basis harga di atas-- yang diterima kontraktor minyak asing sudah mencapai 5,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp53 triliun. Kalau kemudian dikenakan 44 persen pajak tambahan (double tax), Indonesia akan memperoleh Rp23 triliun. "Sedangkan kalau dibagi 50:50, jatah kita menjadi Rp26,5 triliun per tahun, dan untuk selanjutnya setiap kenaikan harga minyak yang lebih besar pemerintah mendapatkan bagian windfall profit yang lebih besar pula," kata Effendi. Dikatakannya, "windfall profit" adalah keuntungan tambahan yang diperoleh kontraktor asing bukan dari hasil kerja tambahan maupun investasi. Melainkan, semata-mata dipicu oleh gejolak harga pasar yang diramalkan semakin membesar dan selama ini dinikmati secara sepihak oleh kontraktor. "Dengan adanya rezeki tambahan tanpa harus berkeringat, wajar dong jika pemerintah minta bagian sepertiga atau setengahnya untuk membantu program masyarakat miskin, menutup subsidi pangan, pendidikan atau kesehatan," ujarnya. Effendi menambahkan, pemerintah tidak perlu ragu meminta tambahan jatah "windfall profit", karena hal serupa sudah dilakukan oleh negara-negara lain, tidak terkecuali, Amerika Serikat (AS) dan Venezuela. Sejak akhir 2007, pemerintah AS bahkan telah menikmati bagian "windfall profit", saat harga minyak belum menembus angka psikologis 100 dolar AS per barel. "Ketika harga tembus 124 dolar per barel, pemerintah dan kongres AS langsung minta tambahan windfall profit dari perusahaan minyak mereka," ungkap Effendi. Hal sama dilakukan oleh pemerintah Venezuela yang sejak dua pekan lalu, telah meminta 20-30 persen bagian "windfall profit" yang dinikmati kontraktor minyak asing di negaranya untuk membantu program bantuan pangan dan subsisi masyarakat miskin. Terkait hal itu, lajut Effendi, pemerintah perlu segera mengeluarkan PERPPU tentang kebijakan "windfall profit" untuk kemudian disahkan menjadi UU oleh DPR. Selain itu, perlu dilakukan simulasi untuk mempelajari besarnya "windfall profit" yang diterima --khususnya oleh kontraktor asing-- dengan beberapa basis harga awal. "Misalnya 50, 60 atau 70 dolar AS per barel, dikaitkan dengan harga pasar minyak kita saat ini, serta proyeksi harga satu-dua tahun ke depan," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008