Jakarta (ANTARA News) - "Apa bedanya makan dengan makam," pertanyaan itu dilontarkan SK Trimurti berkali-kali, ketika beberapa wartawati berkunjung ke rumah kontrakannya di Bekasi, suatu hari di Bulan Juli 2007. Perempuan yang dipanggil "eyang" itu terbaring lemah di atas ranjang kayu warna coklat, tubuhnya yang sangat kurus dibalut stelan kebaya coklat. Ia tak mampu berdiri, segala aktivitas dilakukan di atas ranjang yang dibalut sprei putih. Trimurti tak mengulurkan tangan pada tamu yang datang, biasanya kerabat atau tamu menempelkan tangan kanannya menjabat tangan SK yang terangkat dengan bergetar. Pada saat yang lain Trimurti menggaruk pipi atau mengarahkan telunjuk pada tamunya sambil mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Ia tak mengharapkan jawaban dan pertanyaan itu terlontar begitu saja. Menurut anak SK Trimurti, Heru Baskoro, kondisi sang ibu sejak 2007 tidak dapat mengingat atau mengenali orang yang datang menjenguk. Trimurti juga kerap menanyakan satu hal yang sama berulang-ulang. "Beliau senang berbicara dan berinteraksi dengan siapapun yang datang. Hal itu bisa disadari karena sejak muda ia aktif berorganisasi dan menjadi wartawati, mungkin seperti mengingat dulu sering wawancara dan bertemu banyak orang," katanya. SK Trimurti, perempuan kelahiran 11 Mei 1912 ini memang tak pernah mendapat penjelasan tentang arti "makan" atau "makam" dari para tamu atau kerabat yang mengunjunginya. Kini takdir memberikan jawaban, mengantar SK Trimurti ke" makam" yang menjadi tempat peristirahatan terakhir. SK Trimurti meninggal pada 20 Mei 2008, pukul 18.30 WIB di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Menantu SK Trimurti, Resi Baskoro menjelaskan SK Trimurti meninggal pada usia 96 tahun karena sakit. Wartawati Kritis SK Trimurti adalah seorang wartawati, penulis, pengajar, dan istri dari Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi. Semasa hidupnya, Trimurti pernah menjabat sebagai Menteri Perburuhan dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Kabinet Amir Sjarifuddin II. Peraih bintang Bintang Mahaputra Tingkat V dari Presiden Soekarno ini sejak 2000 beberapa kali dirawat di rumah sakit sebelum akhirnya meninggal dunia. Trimurti lahir sebagai anak ketiga dari sembilan bersaudara, dari pasangan R. Ng Salim Banjaransari Mangunsuromo dan R.A. Saparinten binti Mangunbisomo. Ayahnya adalah pegawai negeri di Kesultanan Solo, Surakarta. Sebelum menekuni bidang jurnalistik pada 1934, Trimurti adalah guru di SDN Solo, kemudian di Banyumas dan terakhir di Perguruan Rakyat Bandung yang hanya berjalan selama tiga bulan karena adanya larangan mengajar dari pemerintah kolonial Belanda pada 1933. Hidup Trimurti sarat dengan perjuangan. Sebagai wartawati dengan tulisan-tulisan yang sangat kritis, kondisi hidupnya dapat berubah-ubah tiap saat akibat tulisannya. Ia kerap menghabiskan hari-hari di penjara pada masa pergerakan karena tulisan-tulisannya yang mengritik pemerintah Hindia Belanda. "Saya terdorong untuk berjuang karena melihat adanya ketidakadilan. Jaman Belanda dulu, perlakuan terhadap pribumi dan keturunan Eropa sangat berbeda," katanya. Tahun 1939, Trimurti ditahan di penjara wanita Bulu, Semarang, karena tulisannya di Harian Sinar Selatan terkena delik pers. Selanjutnya pada 1941, ia ditawan Belanda di Ambarawa dan kemudian dipindahkan ke Garut, Jawa Barat. Ketika masa pendudukan Jepang, Trimurti juga sempat ditahan oleh Kenpetai (tentara Jepang) di Semarang pada 1941-1943 dan telah menjalani berbagai interogasi yang tidak terhitung jumlahnya. Sebenarnya Karma dan Trimurti adalah nama samaran yang dipakainya secara bergantian untuk menghindari delik pers pemerintahan kolonial Belanda dulu. Namun, nama itu terlanjur melekat pada dirinya dan ia pun dikenal dengan nama S.K. Trimurti. "Sebagai wartawan saya berjuang melalui tulisan, mulut, dan bisik-bisik. Pokoknya segala cara dipakai untuk mencapai kemerdekaan," kata mantan menteri perburuhan pada 1947-1948 itu dalam sebuah wawancara dengan wartawan ANTARA (2004). Disayang Keluarga Soekarno Trimurti memiliki hubungan yang sangat baik dan cukup dekat dengan Soekarno. Ia juga pernah mengikuti kursus kader politik di bawah pimpinan Bung Karno. Di rumah kontrakannya, diantara deretan foto-fotnya bersama keluarga, terdapat sebuah lukisan yang paling besar bergambar Bung Karno menyematkan Bintang Mahaputra tingkat V pada Trimurti. Kedekatannya di masa perjuangan dengan Bung Karno telah membuat Trimurti menganggap mantan presiden RI pertama itu sebagai keluarganya sendiri. "Dulu anak-anak Bung Karno sering mengompoli saya," ujarnya sambil tertawa. Kedekatan hubungannya dengan anak-anak Bung Karno itu dibenarkan Guruh Soekarno Putra. Bahkan untuk mengenang jasa kepahlawanan Trimurti, Yayasan Bung Karno menerbitkan buku "95 Tahun SK Trimurti, Pejuang Indonesia". Guruh yang juga Ketua Yayasan Bung Karno mengatakan buku tersebut berisi kumpulan tulisan-tulisan terpilih dari SK Trimurti selama masih aktif sebagai wartawan. "Buku ini bukan kado pribadi buat Ibu Tri, melainkan untuk kita sebagai generasi penerusnya, karena tulisan tulisan beliau dapat membantu kita dalam mengenali sejarah perjuangan perempuan, buruh, penegakan demokrasi dan keadilan di Indonesia," terang Guruh. Buku setebal 300 halaman tersebut berisi tulisan-tulisan terpilih karya SK Trimurti dari Tahun 1931 hingga 1991. Bukunya diluncurkan Rabu, 16 Mei 2007, sekaligus memperingati ulang tahun SK Trimurti ke-95. SK Trimurti yang seharusnya ada diantara keluarga besar Bung Karno saat itu tidak hadir karena sakit. Pukul 18.30 WIB SK Trimurti menghembuskan nafasnya yang terakhir di tengah keluarga yang sangat menyintainya. Kini tak ada lagi pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan, namun kenangan terhadap sosok wartawati ini akan terus tersimpan di hati setiap orang yang mengenalnya. "Ibu itu orang yang sangat tegas dan kritis, berpendirian keras dan tak pernah berhenti berjuang lewat tulisan-tulisannya," demikian ujar Heru Baskoro.(*)

Oleh Oleh Desy Saputra
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008