Oleh Iskandar Zulkarnaen Samarinda (ANTARA News) - Sebuah menara pengintai api terbuat dari kayu ulin yang tingginya sekitar 20 meter masih berdiri kokoh pada sebuah bukit di dalam kawasan Taman Nasional Kutai (TNK). Menara itu menjadi saksi bisu tentang perjalanan nasib TNK yang sering disebut-sebut sebagai benteng terakhir hutan hujan tropis dataran rendah di Kalimantan Timur (Kaltim). Menara itu berada pada salah satu bukit tertinggi di TNK, maka dari atas menara itu terlihat sebagian kawasan konservasi yang total luasnya sekitar 198.000 Ha. Namun, jangan bayangkan kawasan itu seperti taman safari di Afrika dengan berbagai jenis marga satwa. Pemandangan di bawah menara pengintai tersebut, oleh banyak kalangan disebut "mengenaskan". Sebagian besar yang terlihat dari ketinggian itu hanya semak belukar, kebun warga, serta beberapa bagian lahan gundul kehitaman karena pembukaan lahan dengan sistem pembakaran. Angin panas yang menerpa orang yang berdiri di atas menara pengintai tersebut menandakan bahwa musim kemarau segera tiba. Itu lah saatnya bagi para peladang untuk berlomba-lomba membuka lahan dengan sistem pembakaran. Akibatnya, kawasan itu sangat rawan mengalami kebakaran. Pakar kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda, Abubakar Lahjie, menyatakan bahwa salah satu faktor dominan penyebab kebakaran hutan adalah karena ulah manusia. Gejala alam, seperti El Nino yang menyebabkan terjadinya kemarau ekstrim bukan pemicu utama, walaupun kebakaran yang disebabkan alam, misalnya gesekan ranting pohon, memang ada, namun sebagian besar kebakaran adalah akibat ulah manusia. Di Taman Nasional Kutai, pembukaan lahan untuk perladangan dan pemukiman kian hari kian menjadi-jadi tanpa ada upaya serius dari pemerintah daerah untuk menghentikannya. Data Balai TNK menyebutkan sedikitnya 700 warga merambah kawasan yang terletak di Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur, itu. Warga yang diduga berasal dari Kutai Barat, Samarinda, dan Kutai Kartanegara itu merambah kawasan yang diperkirakan mencapai 600 hektare. Mitra TNK yang terdiri atas sejumlah perusahaan perkayuan, migas dan batu bara sebelumnya sempat membangun pagar besi sebagai pembatas. Namun pagar besi itu tidak terlihat lagi. Padahal selain pagar, Balai TNK bersama mitranya melakukan berbagai program untuk merehabilitasi dan mereboisasi kawasan di pinggir jalan raya yang gundul itu. Namun, para perambah juga membabat pohon penghijauan dan reboisasi untuk merabilitasi lahan-lahan kritis pada pinggir jalan tersebut. Yang menandakan bahwa lokasi itu merupakan kawasan TNK hanya terlihat dari sebuah plang kayu yang sudah reot dan menara pengintai pada sejumlah bukit tertinggi di dalam kawasan konservasi itu. Keberadaan kawasan konservasi itu sudah ditetapkan sejak zaman Kesultanan Kutai, dilanjutkan sampai sekarang sesuai surat keputusan Menteri Pertanian No. 736/1982 dengan luas 200.000 Ha yang dilanjutkan dengan SK Menteri Kehutanan No.325/1995 menjadi 198.629 Ha. Perusakan kawasan itu mulai menjadi-jadi pada masa otonomi daerah pada 2000 yang berlanjut sampai kini. Bahkan, untuk satu tahun terakhir diperkirakan beban TNK kian berat menghadapi ulah para perambah dan peladang yang masuk ke kawasan itu. Kepala Balai TNK Agus Budiono mengaku tidak berdaya menghadapi para perambah dan peladang tersebut karena jumlah personil terbatas sementara "pendatang haram" itu jumlahnya terus bertambah. Pihaknya mengharapkan dukungan semua pihak terkait khususnya Pemerintah Daerah dalam mengurangi serta menghentikan aktifitas para perambah dan peladang yang jumlahnya terus meningkat di kawasan konservasi itu. Data Balai TN Kutai menyebutkan bahwa sampai 2004 kebakaran akibat kelalaian manusia telah merusak sekitar 146.080 hektare atau 80 persen dari luas kawasan itu. Kerusakan itu diperparah lagi oleh pembalakan liar dan perambahan, terbukti selama 2001-2004, jumlah kayu ilegal yang disita mencapai 246.082 meter kubik (M3). Balai memperkirakan kerugian negara mencapai Rp271,6 miliar. Data ini belum termasuk kasus pada 2007 dan 2008. Kebijakan Pemkab Kutai Timur yang mengusulkan serta mendorong penglepasan kawasan atau kantong-kantong pemukiman di dalam kawasan TNK diperkirakan telah menjadi pemicu bagi warga untuk merambah kawasan itu, baik sebagai tempat berladang, bermukim, aktifitas ekonomi lainnya. Pada tataran politis menjelang pilkada Gubernur Kaltim 2008-2013, isu perambahan itu langsung dibantah Bupati Kutai Timur Awang Faroek Ishak. Ia menilai bahwa hal itu terjadi karena semata-mata alasan "perut", serta pemerintah pusat (Dephut) lamban menindaklanjuti usulan penglepasan lahan atau enclave. Padahal kawasan itu memiliki keistimewaan ketimbang kawasan konservasi yang lain di Kaltim, misalnya TNK dikenal sebagai kawasan hutan kayu damar terluas di dunia. TNK merupakan kawasan hutan hujan dataran rendah yang memiliki beragam potensi flora dengan jumlah mencapai 958 jenis. Di kawasan itu terdapat pula tumbuhan gaharu (Aquilaria sp), kantong semar (Nepenthes mirabilis), dan anggrek (Orchidaceae) yang merupakan flora yang semakin langka. Di TNK juga hidup sekitar 80 persen dari seluruh jenis burung di Borneo, dan lebih 80 jenis mamalia Borneo termasuk orangutan (Pongo pygmaeus). Kawasan itu sebenarnya menjadi habitat kelompok primata seperti orangutan (Pongo satyrus), owa kalimantan (Hylobates muelleri), bekantan (Nasalis larvatus), kera ekor panjang (Macaca fascicularis fascicularis), beruk (M. nemestrina nemestrina), dan kukang (Nyticebus coucang borneanus), untuk kelompok ini dapat dijumpai di Teluk Kaba, Prevab-Mentoko, dan Sangkimah. TNK juga menjadi habitat dari kelompok ungulata seperti banteng (Bos javanicus lowi), rusa sambar (Cervus unicolor brookei), kijang (Muntiacus muntjak pleiharicus), dan kancil (Tragulus javanicus klossi). Kelompok ini dapat dijumpai di seluruh kawasan TNK. Di dalam kawasan TNK juga terdapat beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus), elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster), pergam raja atau hijau (Ducula aenea), ayam hutan (Gallus sp.), beo atau tiong emas (Gracula religiosa), dan pecuk ular asia (Anhinga melanogaster melanogaster). Namun dengan terus terjadinya pembabatan hutan, pembukaan lahan untuk ladang dan pemukiman serta bencana kebakaran hutan dan lahan pada setiap musim kemarau, satwa langka itu kini kian terancam. Salah satu bukti bahwa satwa langka di TNK makin terdesak, beberapa orangutan ke luar dari habitat untuk menjarah kebun-kebun penduduk karena hutan tidak lagi menyediakan makanan bagi mereka. Kadang-kala, warga yang melintasi Jalan Lintas Kalimantan di Kaltim pada poros utara, yakni sekitar Wahau yang menghubungkan Kutai Timur dan Kabupaten Berau sering bersua dengan orangutan yang menjarah kebun-kebun para peladang yang bermukim di dalam TNK. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008