Suara perempuan meratap bersahut-sahutan makin terdengar jelas saat perjalanan setapak menuju puncak sebuah bukit dalam kawasan hutan belukar di pemukiman Talang Mamak di Desa Talang Perigi, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau, makin dekat kami jangkau.

Talang Mamak merupakan salah satu suku asli di Riau yang hidup dikawasan hutan belukar di Inhu yang masihh memegang teguh adat tradisinya dan menganut keyakinan "Langkah Lama" (animisme).

Begitu sampai di puncak bukit, dua kuburan bercat hitam dengan bentuknya yang khas diratapi oleh belasan perempuan tua dan anak dara. Mereka berjongkok mengelilingi kuburan bahkan ada juga beberapa perempuan yang berada diatas balai kuburan.

Begitu kami memasuki areal kuburan, ratap mendayu-dayu dari para perempuan itu berhenti dan mereka pun menepi di salah satu sudut pagar kuburan.

Dalam areal pagar seluas 8x10 meter persegi itu terdapat dua kuburan yang berdampingan sejajar dan berjarak sekitar empat meter, bentuknya bertingkat-tingkat, dipuncaknya dibuat pondok yang disebut "balai" dengan atap dari daun rumbia dan bisa dimasuki tiga orang dewasa. Balai berfungsi untuk memyimpan perkakas yang dipakai si mati semasa hidupnya.

Salah satu dari dua kuburan itu balainya bertiang tunggal sedangkan kuburan yang satunya lagi balainya bertiang empat. Pada dua kuburan itulah "naik tanah", tradisi suku asli ini bakal dilaksanakan untuk meresmikan kematian orang yang telah dikuburkan.

Areal lokasi dua kuburan itu dikelilingi pagar dari kayu mahang yang ditancap ke tanah dan diikat dengan rotan. Pagar tersebut memiliki dua pintu yang saling berhadapan.

Hanya lokasi kuburan berpagar itulah yang bersih sedangkan lingkungan sekitarnya semak belukar dengan pohon-pohon yang besar.

Kuburan yang bertingkat-tingkat itu menjelaskan siapa yang dikuburkan di tempat tersebut. Jika jumlah undakan kuburannya genap maka yang terkubur adalah orang dewasa, tetapi jika undakannya ganjil adalah anak-anak. Untuk orang dewasa jumlah undakannya enam sedangkan anak-anak lima.

Tiap undakan dibatasi kayu yang telah ditatah dan disebut "gading-gading". Kayu untuk bahan kuburan ini biasanya dipakai kayu lampung ataupun medang sendok. Seluruh bangunan kuburan dicat hitam. Cat hitam kayu tersebut berasal dari serbuk arang baterai (karbon) yang dihiasi dengan lukisan dari kapur sirih dengan pola lingkaran-lingkaran kecil dan titik-titik. Bangunan balai juga dicat hitam dan diberi hiasan kapur sirih termasuk tiang penyangga balai serta ornamen pendukung lainnya.

Setiap dua undakan dilapisi kain batik yang melambangkan silsilah dalam keluarga si mati. Dua undakan pertama yang ditutupi kain batik melambang keluarga pihak ayah, dua undakan berikutnya melambangkan pihak ibu, lalu satu undakan lagi ditutupi kain putih yang merupakan diri si mati dan baru ditutup dengan satu undakan.

Tiap undakan tersebut diisi dengan tanah. Kuburan orang Talang Mamak bertingkat-tingkat dan keluarga si matipun menaikkan tanah untuk tiap tingkatannya dan itu sebabnya dalam meresmikan kuburan sebagai penghormatan terakhir pada yang mati disebut naik tanah.

Jika yang mati status sosialnya tinggi maka pada puncak undakan terakhir kuburannya akan terdapat tiang tunggal. Tiang tersebut akan menopang balai dan dapat diputar-putar saat prosesi naik tanah.

Tetapi jika si mati dari keluarga biasa saja, maka, pondoknya tidak memiliki tiang tunggal tetapi bertiang empat atau enam. Tiang empat untuk anak-anak dan tiang enam untuk orang dewasa.

Kuburan yang bertingkat-tingkat itu juga dihiasi dengan berbagai ornamen yang semuanya dibuat dari kayu. Selain gading-gading sebagai pembatas undakan, juga terdapat beberapa ukiran yang digantungkan di sisi kiri-kanan balai yang disebut "jentung pandan" dan "layang-layang" yang digantungkan di depan balai. Sedangkan bunga-bunga "bulai" dari ranting kayu sibekal disisipkan di puncak balai dan disetiap sudut balai. Semua ornamen tersebut dicat hitam berbintik-bintik kecuali bunga bulai.

Kuburan orang Talang Mamak, kepala menghadap matahari terbenam dan kakinya ke arah matahari terbit. Itu sebabnya pada sisi balai yang menghadap timur dipajang lima patung burung enggang, burung yang dikeramatkan suku Talang Mamak.

Burung dengan paruh besar itu, badannya dicat hitam dan berbintik putih sedangkan paruhnya tidak. Burung enggang sebagai perlambang bahwa roh si mati telah melayang dari jasadnya, terbang ke alam fana.



Dipimpin Ria

Seorang Ria, pembantu Batin dalam urusan kematian, yang akan memimpin tradisi naik tanah, sedangkan Batin merupakan pucuk pimpinan adat. Sebelum acara dimulai, Ria memeriksa kondisi kuburan tersebut.

Pada ahli keluarga si mati yang ikut berada disekitar lokasi kuburan, Ria bertanya nama dan makna dari setiap ornamen kuburan. Mulai dari jenis gading-gading yang dilapisi kain, jentung pandan, layang-layang, bunga bulai, burung enggang termasuk balai.

Setelah mendapat penjelasan dari keluarga si mati, barulah Ria memerintahkan menyabung ayam. Dua ekor ayam jago disabung dalam lokasi kuburan. Baik ayam yang menang maupun yang kalah, keduanya dipotong dan darahnya ditampung untuk dioleskan ke kuburan.

Usai menyabung ayam Ria kembali memimpin doa dan tradisi memutar kuburan akan dimulai. Empat lelaki dewasa dari sebelah ayah dan ibu si mati berada di empat sudut balai. Sedangkan dua orang perempuan, yang merupakan keluarga si mati memasuki balai yang berada di atas kuburan.

Saat balai bertiang tunggal itu diputar, suara ratapan mendayu-dayu dari perempuan yang ada dilokasi kuburan kembali bergema.

Ratapan untuk memutar tiang kuburan sebanyak tujuh kali itu berhenti begitu putaran berakhir. Usai pihak keluarga memutar kuburan, Ria juga ikut memutar kuburan tiang tunggal itu dengan mengambil posisi memegang sisi belakang balai.

Putaran yang dipimpin Ria menandakan putaran terakhir yang juga dilakukan tujuh kali. Suara ratapan dari perempuan yang hadir kembali bergema, bahkan ada ibu-ibu yang memukul-mukulkan badannya atau menghempaskan dirinya ke tanah.

Usai memutar kuburan, seluruh keluarga berkumpul lagi disekeliling kuburan dan mengoleskan darah ayam ke kuburan. Mengoles darah ayam sebagai pertanda bahwa keluarga yang hidup merelakan kepergian si mati.

Tradisi naik tanah itu diakhiri dengan menumpahkan beras ke kuburan dari celah lantai balai. Satu kantong beras seberat sekitar 20 kilogram yang dibungkus kantong anyaman pandan, ditumpahkan ke tengah kuburan dari celah lantai balai yang dilakukan ahli waris. Siraman beras ke kuburan itu merupakan bekal makanan untuk si mati.

Sementara itu, di dalam balai juga banyak disimpan bekal untuk si mati selain perkakas yang dipakainya semasa hidup seperti pakaian, tikar, kasur, bantal, serta perkakas dapur juga bahan makanan termasuk gula dan kopi. Bahkan, pada balai kuburan anak-anak juga dilengkapi dengan peralatannya termasuk buaian, botol susunya serta mainannya.

Makin banyak dan berharga perkakas si mati, maka makin bernilai pula diri si mati ditengah keluarganya dan juga sebagai pertanda bahwa dia berasal dari kalangan orang yang mampu.

Rangkaian naik tanah itu ditutup dengan dikuncinya pintu pagar oleh Ria yang diiringi doa penutup. Pagar yang telah terkunci tidak boleh lagi dibuka dan jika ada orang yang masuk ke dalam areal kuburan sebelum tiga hari dikunci, maka orang tersebut akan di denda. Besarnya denda tergantung pada kesepakatan antara ahli waris dan tetua adat.

"Setelah pintu pagar kuburan dikunci, tidak ada lagi yang masuk ke areal kuburan. Begitu juga keluarga si mati," ujar Lada Usang (51), nama Ria yang memimpin ritual naik tanah. Ia lebih akrab disapa Ria sesuai dengan jabatan adat yang disandangnya.

Menurut lelaki yang memakai gigi emas dan merupakan satu-satunya giginya yang tersisa, kuburan yang telah diadakan upacara naik tanah akan dibiarkan begitu saja hingga tertutup semak belukar dan tidak bakal dijenguk lagi oleh sanak keluarganya.

"Saat naik tanah inilah, terakhir kalinya ahli waris menjenguk kuburannya. Naik tanah juga berarti melepas habis si mati sebab dia telah pergi jauh," ujar Ria.

Ia mengatakan, dalam ajaran Langkah Lama, naik tanah merupakan upacara mengantar si mati ke alam jauh dan kehidupannya telah tamat. Itupula sebabnya seluruh harta benda si mati yang acap dipakainya semasa hidup diikutsertakan di dalam balai kuburannya.

Dalam tradisi Talang Mamak, upacara naik tanah tidak dilakukan begitu si mati dikuburkan tetapi disesuaikan dengan kondisi kematian si mati. Jika seseorang meninggal karena sakit disebut "mati biasa", tetapi jika mati karena kecelakaan atau dibunuh disebut "mati sebab" dan jika bunuh diri disebut "mati sesal".

untuk orang yang mati sesal, prosesi naik tanah dipercepat agar arwahnya cepat pula terbang jauh begitu juga untuk mati sebab. Biasanya dua pekan setelah kematiannya, anggota keluarganya langsung mengelar tradisi naik tanah. Tetapi untuk yang mati biasa, anggota keluarganya bebas memilih waktu untuk prosesi naik tanah hingga masa setahun kematiannya.

Ahli waris yang ditinggalkan yang akan menentukan apakah saat prosesi naik tanah akan melakukan "gawai" (jamuan kenduri di kalangan orang Talang Mamak-Red) secara besar-besaran atau biasa saja, tergantung pada kemampuan si ahli waris.

Jika yang meninggal berasal dari keluarga yang kaya maka gawai naik tanahnya diselenggarakan selama tiga hari tiga malam dan balai kuburan si mati dibuat tiang tunggal. Tetapi jika berasal dari keluarga tidak mampu gawai hanya dilaksanakan sehari dan balai kuburannya bertiang empat atau enam.

Selama gawai naik tanah yang juga disebut "kayat buruk" atau gawai kawin yang disebut juga "kayat baik", kegiatan diisi dengan menyabung ayam dan berjudi. Saat keramaian itulah, orang Talang Mamak berkumpul di rumah yang melaksanakan gawai dan orang luar juga berdatangan ikut menjadi "bubu" (bertaruh-Red) saat sabung ayam. Ayam yang kalah dalam pertarungan tersebut akan menjadi milik tuan rumah dan akan menjadi hidangan jamuan sedangkan ayam yang menang tetap menjadi milik tuannya.(*)

Oleh oleh Evy R. Syamsir
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009