Jakarta (ANTARA News) - Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) menegaskan pihaknya tetap mengancam akan melakukan mogok nasional jika pemerintah menolak usulan mereka untuk mendapatkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dengan tarif sebelumnya.
"Kami tetap bertekad untuk mogok nasional. Ini semua agar penumpang tak lagi membayar dengan tarif `liar` tak terkendali seperti yang terjadi saat ini. Masyarakat sudah berat, jangan dibebani lagi," kata Ketua Umum DPP Organda, Murphy Hutagalung, saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Penegasan tersebut terkait dengan penetapan naiknya biaya pokok angkutan oleh Menteri Perhubungan (Menhub) Jusman Syafii Djamal untuk angkutan Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) hanya mengalami kenaikan sebesar 15 persen.
"Ini sebagai pedoman agar tarif angkutan umum kelas ekonomi, baik untuk AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi) dan Angkutan Kota maupun Angkutan Pedesaan tidak naik secara berlebihan," kata Jusman dalam suratnya kepada para gubernur di seluruh Indonesia bernomor AJ.302/1/1/Phb-2008.
Oleh karena itu, ketika menanggapi penetapan kenaikan biaya pokok untuk AKAP hanya sebesar 15 persen, Murphy mengatakan kenaikan biaya pokok sebagai akibat kenaikan BBM tersebut yang wajar adalah sekitar 20-30 persen karena dalam dua tahun terakhir, mekanisme evaluasi tarif AKAP kelas ekonomi setiap enam bulan belum dilakukan.
Kenaikan biaya pokok sebesar itu (20-30 persen), katanya, termasuk mempertimbangkan kenaikan suku cadang dalam dua tahun terakhir dan maraknya pungutan liar yang sampai sekarang belum bisa ditaklukkan oleh pemerintah dan pihak terkait lainnya.
"Jadi, informasi evaluasi biaya pokok versi pemerintah itu selain terlalu kecil, juga kurang tepat dan kesannya membodohi masyarakat," katanya.
Namun, saat didesak target waktu untuk melakukan mogok tersebut, Murphy tidak secara eksplisit menyebutkan waktunya.
"Yang jelas, hasil dari rapat yang dihadiri DPD Organda di 33 propinsi akan diserahkan ke pemerintah. Jika dalam seminggu tak ada respon, kami akan mogok," katanya.
Untuk itu, tegasnya lagi, Murphy bersikukuh agar pemerintah benar-benar berpihak kepada angkutan umum dengan menerapkan kebijakan kartu pintar (smart card) pembelian BBM bersubsidi hanya kepada angkutan umum plat kuning dan roda dua.
"Jika itu terjadi, masyarakat kecil penumpang angkutan umum tak perlu menikmati kenaikan tarif. Jangan, setiap kenaikan BBM, tarif angkutan umum selalu naik. Kalau pemerintah benar-benar membela rakyat seharusnya kenaikan tarif BBM tak selalu diikuti kenaikan tarif angkutan," kata Murphy.
Sebelumnya, Menhub Jusman Syafii Djamal menyebutkan jika biaya pokok angkutan AKAP hanya mengalami kenaikan sebesar 15 persen akibat kenaikan BBM itu maka untuk wilayah I (Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara) dari semula Rp100,26 per penumpang per kilometer menjadi Rp115 penumpang per kilometer, sedangkan wilayah II (Kalimantan dan Sulawesi) yang semula Rp110 per penumpang per kilometer menjadi Rp126,5 per penumpang.
Dengan kenaikan biaya pokok seperti itu, besaran tarif AKAP kelas ekonomi juga maksimal 15 persen dari tarif per penumpang per kilometer sebelumnya, yakni untuk wilayah I menjadi Rp150 (batas atas) dan Rp92 per penumpang per kilometer (batas bawah) dan wilayah II Rp165 per penumpang per kilometer untuk batas atas dan batas bawah Rp101 per penumpang per kilometer.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008