Jakarta (ANTARA News) - Pasal-pasal penghinaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) harus di"museum"kan, demikian Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Heru Hendratmoko, dalam keterangannya sebagai ahli pengujian KUHP, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa. Permohonan pengujian KUHP dilakukan dua wartawan, yakni Risang Bima Wijaya (Radar Yogya) dan Bersihar Lubis (penulis Harian Umum Tempo), setelah mereka dikenai pasal penghinaan akibat tulisannya. Heru Hendratmoko, menyatakan kehadiran pasal penghinaan dan pencemaran nama baik itu menempatkan wartawan media massa siap untuk diperiksa layaknya "penjahat." "Bahkan penerapan pasal itu, kecil kemungkinan wartawan bisa bebas," katanya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK, Jimly Asshiddiqie. Dikatakannya, keberadaan pasal-pasal tersebut dalam KUHP sudah mencederai negara yang bebas untuk menyampaikan pendapat. Ia menegaskan, wartawan itu tidak bisa dipidanakan hingga harus ada mekanisme lain untuk kalangan jurnalis. "Pasal-pasal itu tidak boleh dikenakan pada wartawan sepanjang domain untuk kepentingan publik. Wartawan harus dilindungi," katanya. Ditegaskannya, jika tetap diterapkan untuk wartawan, berarti sama saja dengan telah melawan demokrasi atau kebebasan dalam menyampaikan pendapat atau berbicara. "Jika masih dipertahankan pasal-pasal itu, berarti sudah mencederai negara," katanya. Sementara itu, anggota tim revisi KUHP, Muzakkir, menyatakan hukum pidana itu berlaku untuk semua orang, termasuk pada pekerja pers. "Karena itu, pelanggaran kode etik profesi, dapat menjadi melawan hukum pidana yang sanksinya adalah pidana," katanya. Sebelumnya, pemohon menyatakan pasal-pasal penghinaan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 311 ayat (1) KUHP, telah membatasi hak mereka untuk menyampaikan pendapat yang telah dijamin oleh UUD 1945. Pemohon mempercayakan dalam pengajuan uji materi pasal-pasal penghinaan dalam KUHP tersebut melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers. Sementara itu, Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, meminta kepada pemohon untuk mengundang para ahli lainnya terkait pandangannya terhadap pasal dalam KUHP itu. "Pemohon dapat mengundang ahli untuk mengetahui apa benar KUHP itu dekriminalisasi," katanya. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008