Brisbane (ANTARA News) - Indonesia patut bersyukur karena "keadilan" dalam kasus Schapelle Corby, wanita Australia yang divonis bersalah dalam kasus penyelundupan 4,2 kilogram mariyuana tahun 2004 yang sempat memicu sentimen negatif sebagian publik negara itu, justru dibeberkan oleh stasiun televisi Australia sendiri. "Kita patut bersyukur bahwa keadilan dicapai di Australia," kata mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Wimar Witoelar, menanggapi penayangan film dokumenter "Schapelle Corby: The Hidden Truth" (Schapelle Corby: Kebenaran yang Tersembunyi) di Stasiun TV "Channel Nine" pada 22 dan 24 Juni malam. Dalam wawancara telepon dengan ANTARA News saat dirinya masih berada di Darwin, Australia, kemarin, Wimar mengatakan, keadilan bagi Indonesia dalam kasus Corby yang diungkap oleh media Australia sendiri merupakan sebuah perkembangan yang bagus. Dalam upaya membangun hubungan bilateral yang lebih dewasa, pemerintah dan rakyat kedua negara dan bangsa sudah sepatutnya menjadikan kebenaran "acuan utama". "Kalau kita salah ya salah, kalau kita benar ya benar," katanya. Apa yang dilakukan Stasiun Televisi "Channel Nine" Australia patut juga dilakukan oleh media di Indonesia seandainya warga negara Indonesia terbukti bersalah, katanya. Persoalan emosi publik di kedua negara terkait dengan isu-isu sensitif, seperti kasus Corby tahun 2004-2005, Wimar mengatakan, diperlukan pendidikan publik di kedua negara. Bagi Indonesia, sudah tidak zamannya lagi warga berlindung di balik alasan "merah putih" untuk membela kesalahan, katanya. Sementara itu, terkait dengan bagian kedua tayangan film dokumenter Corby di Stasiun TV "Channel Nine", Selasa malam (24/6), para pemirsa disodori rangkaian fakta yang semakin menguak sosok Corby dan keluarganya. Selain menguak perihal kehancuran hubungan mantan pengacara dengan keluarga Corby, film itu juga membeberkan fakta bahwa sejak hari penangkapannya pada 8 Oktober 2004, Corby sebenarnya sudah secara tidak langsung mengetahui bahwa di dalam tas papan selancar itu ada bungkusan berisi 4,2 kilogram mariyuana. Pengakuan tak langsung Corby itu disampaikan Ngurah Winata, aparat bea cukai Bandar Udara Ngurah Rai Denpasar yang bertugas menangani tas papan selancar wanita asal Gold Coast, Queensland, ini, dalam wawancara di film dokumenter tersebut. Bahkan Corby, katanya, mengetahui bahwa di dalamnya mariyuana dari baunya. Hubungan antara tim pengacara dan keluarga Corby juga "hancur berantakan" setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar menvonis Corby bersalah dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara pada 27 Mei 2005.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008