Jakarta (ANTARA News) - Pengamat militer dari Universitas Pariangan, Bandung, Dr Aleksius Jemadu, mengatakan, masih dipertahankannya Komando Teritorial oleh pimpinan TNI dan Pemerintah, menjadikan agenda reformasi dalam tubuh militer tidak tuntas. Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pariangan (Unpar), Bandung, ini menegaskan itu, ketika menjadi salah satu pembicara pada Diskusi Publik dan Peluncuran Buku "Sistem Keamanan Nasional Indonesia: Aktor, Regulasi, dan Mekanisme Koordinasi" oleh `PACIVIS, Center for Global Civil Society Studies`, Universitas Indonesia. "Masalah ini merupakan catatan penting pertama sehubungan dengan perlunya meningkatkan peran `Civil Society Organizations` (CSOs) dalam membangun tata kelola sistem keamanan nasional yang reformis di Indonesia," tegasnya dan diskusi yang juga antara lain menampilkan Ketua Komisi I DPR RI, Theo L Sambuaga, serta dua pakar militer Universitas Indonesia (UI), yakni Dr Makmur Keliat dan Dr Andi Wijayanto. Secara lebih detil, ia menjelaskan, resistensi kelembagaan, baik dari pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (Polri) maupun Badan Intelijen Negara (BIN) masih sangat tinggi untuk melakukan perubahan. "Contohnya yang saya sebutkan tadi. Yakni, masih dipertahankannya Komando Teritorial itu dilihat sebagai agenda reformasi dalam tubuh militer yang tidak tuntas keberadaannya dan bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik praktis yang bisa mencederai prinsip supremasi sipil atas militer," tandasnya. Penolakan Polri Selain itu, menurutnya, faktor penghambat reformasi total dalam konteks tata kelola sistem keamanan nasional, ialah, adanya keengganan dan penolakan Polri untuk mensubordinasi dirinya di bawah sebuah departemen dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Keamanan Nasional (Kamnas). "Ini menunjukkan, bahwa lembaga ini tetap ingin mempertahankan posisi statusquonya dan hal itu bisa menimbulkan kecemburuan dari pihak TNI yang sudah berada di bawah Departemen Pertahanan," tandasnya lagi. Lebih ironis lagi, lanjutnya, Presiden RI tampaknya belum termotivasi untuk melakukan perubahan dalam isu ini. "Dan diduga, keberadaan Polri langsung di bawah Presiden membawa keuntungan politik tertentu karena adanya jaminan kontrol yang lebih pasti," ungkapnya. Dalam konteks lebih luas, demikian Dr Aleksius Jemadu, kompetisi memperebutkan sumberdaya ekonomi antara TNI dan Polri, terutama di tingkat akar rumput (`grassroots), bisa menjadi kendala serius bagi penanganan keamanan nasional di Indonesia. TNI di Pilkada Ia lalu menunjuk keterlibatan TNI, terutama para purnawirawannya di pentas Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) di beberapa daerah potensial. "Artinya, perlu juga dikatakan di sini, bahwa di kalangan perwira menengah dan tinggi TNI telah berkembang kesadaran bahwa sumber apropriasi atau pemahaman diri ekonomi dan politik mereka makin terbatas, dan keistimewaan yang sempat dinikmati oleh para pendahulunya tidak tersedia lagi bagi mereka," katanya. Akibatnya, menurutnya, keterlibatan para purnawirawan TNI dalam Pilkada di berbagai daerah merupakan manifestasi dari keinginan untuk tetap memiliki akses terhadap sumberdaya politik dan ekonomi yang ada. "Jika Pemerintah tidak segera meningkatkan kesejahteraan para prajurit dan perwira TNI, dikhawatirkan bahwa akan terjadi ekses yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan tugas mereka," kata Aleksius Jemadu mengingatkan.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008