Jakarta, (ANTARA News) - Hampir 1,5 juta orang pekerja rumah tangga asal Asia seperti Indonesia, Sri Lanka, dan Filipina mencari nafkah di Arab Saudi. Para buruh migran itu kerap dianggap sebagai "pahlawan masa kini" di kampung halaman mereka berkat jumlah kiriman uang yang diberikan kepada keluarga dan kerabat. Namun pada sisi lain, para buruh yang menjadi pekerja rumah tangga tersebut mendapat perlindungan yang sedikit dibanding dengan para buruh migran di sektor lain di Arab Saudi. Jumlah pekerja rumah tangga di negeri Saudi sebesar 25 persen dari total pekerja asing di sana, tapi berbagai kedutaan negara pengirim tenaga kerja melaporkan bahwa tindak kesewenang-wenangan terhadap pembantu rumah tangga merupakan aduan terbanyak yang mereka terima. "Aduan terbanyak di berbagai kedutaan negara penerima adalah gaji yang tidak dibayarkan, pengurungan paksa, tidak mendapat makanan yang layak, beban kerja yang berlebihan, dan penganiayaan baik fisik maupun mental serta fisik yang kejam," kata Nisha Varia, peneliti senior dari Divisi Hak Perempuan di "Human Rights Watch" - sebuah LSM internasional yang bergerak di bidang HAM. Dalam laporan terbaru Human Rights Watch yang mewawancarai 142 orang dari unsur PRT, pejabat senior pemerintah, dan agen perekrut tenaga kerja di Arab Saudi dan negara pengirim buruh, disebutkan bahwa banyak PRT yang bekerja di Saudi mengalami kekejaman nyaris layaknya perlakuan terhadap budak. Persoalan berpangkal di hukum perburuhan Saudi, yang diamandemen dengan Dekrit Kerajaan Nomor M/51 tertanggal 27 September 2005. Hukum perburuhan di Saudi mengecualikan pekerja rumah tangga, menyangkal mereka atas jaminan perlindungan yang diberikan bagi pekerja lain, seperti hari libur setiap pekan, batasan jam kerja, dan akses terhadap peradilan baru bagi buruh yang akan dibentuk menurut pembaruan sistem hukum yang diumumkan pada Oktober 2007. "Pemerintah Saudi berulang kali mengatakan bakal mengembangkan `annex` (lembar tambahan) pada hukum perburuhan yang akan mencakup pekerja rumah tangga, namun hinga Juni 2008 `annex` itu tidak juga selesai," kata Kenneth Roth, Direktur Eksekutif Human Rights Watch. "Sapi perah" Julukan "pahlawan devisa" bagi para buruh migran nyata adanya. Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan, "Untuk beberapa negara yang sedang berkembang, pendapatan dari luar negeri menjadi satu sumber devisa terbesar, melebihi pendapatan ekspor, investasi luar negeri langsung (FDI), dan arus pemasukan uang dari sektor privat lain." Sebagai contoh, pekerja migrant Filipina, termasuk sejumlah banyak perempuan yang bekerja di negeri Teluk Persia, mengirimkan uang sebanyak 15,2 triliun dolar Amerika pada tahun 2006 ke negerinya. Angka itu merupakan 13 persen penghasilan bruto negara tersebut. Pendapatan negara dari mata uang asing yang dikirimkan (remittance) terus meningkat selama tiga dekade terakhir, dan Bank Dunia memperkirakan bahwa buruh migran dari negara-negara berkembang mengirimkan 240 miliar dolar ke negara asal selama tahun 2007. Buruh migran di Saudi mengirim pulang 15,6 miliar dolar di tahun 2006, atau hampir 5 persen dari GDP Saudi. Ini menjadikan Saudi sebagai pengirim valuta asing kedua terbesar setelah Amerika Serikat (laporan Bank Dunia tahun 2007). Berangkat dari besarnya kontribusi buruh migran sektor PRT bagi ekonomi nasional negara pengirim, perlindungan terhadap mereka di luar negeri sangatlah minim. Jangankan perlindungan, kejelasan data saja sulit didapat. Perkiraan jumlah pekerja rumah tangga di Arab Saudi berbeda-beda karena tidak tersedianya publikasi data dan kesulitan untuk mendata pekerja, kata Nisha. Angka resmi dari Pemerintah Saudi menunjukkan sekitar 20.000 pekerja rumah tangga tiba di kerajaan itu setiap bulan dengan visa kerja, tapi kedutaan Indonesia mengatakan kedutaan mensahkan 15.000 kontrak kerja baru setiap bulannya. "Saya tinggal di gubuk yang sangat kecil yang saya buat dari kain, dan suami saya tidak bekerja, sementara kami mempunyai lima orang anak yang harus dibesarkan. Karena kemiskinan dan masalah keuangan, saya putuskan untuk ke luar negeri untuk mencari pekerjaan," kata Noor F, PRT asal Sri Lanka yang hasil wawancaranya ditampilkan dalam laporan Human Rights Watch. Bank Dunia tiap tahun mendapati kesenjangan gender masih berdampak terhadap tingkat pendidikan, partisipasi angkatan kerja, dan kekuatan untuk memperoleh penghasilan. Penghasilan rata-rata perempuan di negara seperti Indonesia, Filipina, dan Sri Lanka adalah 41-61 persen dari rata-rata penghasilan laki-laki. Kondisi timpang ini dan sedikitnya lapangan pekerjaan formal membuat perempuan banyak yang tergiur untuk bekerja sebagai PRT di negara lain. Kesewenangan Kisah tragis dan mengilukan yang datang dari Saudi tentang buruh migran Indonesia terus mengalir seolah tanpa kendali sama sekali. Kesewenangan yang beraneka rupa dapat dijumpai buruh migran PRT Indonesia di Saudi, mulai dari kecurangan agen perekrut tenaga kerja, gaji yang tidak dibayarkan, hingga siksaan di luar batas kemanusiaan. "Majikan menyimpan paspor dan iqama saya. Mereka mengunci saya dari luar. Tidak ada jalan bagi saya untuk keluar," kata Sri H, PRT asal Indonesia. Nisha menjelaskan, sistem sponsor (kafala) untuk mendapatkan visa sangat ketat dan menggantungkan nasib visa buruh migran kepada para majikan di Saudi. Sistem "kafala" ini pula yang membuat buruh migran tidak bisa mengganti pekerjaan atau meninggalkan negara Saudi. Kalau pun pengaduan konflik kerja disampaikan oleh para buruh migran, sistem peradilan pidana Arab Saudi dapat menjadi masalah yang serius bagi PRT migran. Beberapa kasus aduan justru digugat balik dengan pasal-pasal mencuri, perzinahan, dan santet alias guna-guna terhadap majikan yang telah mereka adukan bertindak semena-mena. Tuntutan santet atau ilmu hitam atau kejahatan moral diganjar hukuman yang sangat kejam. Contoh saja hukuman atas berzinah dan berada bersama laki-laki yang bukan muhrim adalah 10 tahun penjara dan cambukan sebanyak 60-490 kali. Pekerja yang hamil karena diperkosa juga menanggung resiko hukuman jika mereka tidak dapat memenuhi standar pembuktian yang ketat untuk membuktikan adanya pemerkosaan. Dalam beberapa kasus yang mencuat dan sempat diprotes keras oleh dunia, proses peradilan terhadap buruh migran di Saudi justru berlangsung sampai bertahun-tahun. "Ini terjadi karena pekerjaan sebagai PRT masih rancu di mata hukum di Saudi. Di satu sisi PRT dianggap sebagai pekerja biasa, tapi di sisi lain karena lokasi kerjanya di rumah, maka sengketanya menjadi sengketa domestik," kata Kenneth. Sebagai contoh lambannya peradilan di Saudi terlihat dari kasus Nour Miyati. Setelah tiga tahun disidangkan di Pengadilan Riyadh, majelis hukum memutuskan untuk melepas bebas majikan Nour, meskipun sudah ada pengakuan bersalah dari majikan, bukti kesehatan, dan tekanan publik. Nour Miyati adalah PRT asal Indonesia, ia terpaksa mengamputasi jari tangan dan kakinya sendiri akibat kelaparan dan pemukulan yang dilakukan setiap hari oleh majikannya.(*)

Oleh Oleh Ella Syafputri
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008