Kupang (ANTARA News) - Sedikitnya 12 nelayan Indonesia asal Kelurahan Oesapa, Kota Kupang, NTT akan kembali lagi ke Australia untuk menjalani sidang lanjutan pada November mendatang di negeri Kanguru itu.
"Kami sedang menjalani sidang atas tuduhan memasuki wilayah perairan Australia secara ilegal. Tetapi, atas dasar kemanusiaan, kami dipulangkan dan diminta untuk kembali lagi pada bulan November untuk menjalani sidang lanjutan," kata Bogas, satu dari 12 nelayan asal Kelurahan Oesapa itu di Kupang, Minggu.
Ke-12 nelayan Indonesia asal Kelurahan Oesapa ini dideportasi pemerintah Australia, Sabtu (19/7) dengan sebuah pesawat carteran dari Darwin, Australia Utara melalui Bandara El Tari Kupang atas tuduhan memasuki wilayah perairan negara itu secara ilegal untuk mencuri ikan dan biota laut lainnya.
Nasrul, seorang nelayan lainnya mengatakan tuduhan petugas patroli wilayah perairan Australia bahwa mereka sudah memasuki wilayah perairan negara itu secara ilegal adalah tidak masuk akal.
"Kami menggunakan GPS (General Positioning System) untuk mengetahui posisi kami pada saat berada di wilayah perairan tersebut. Dan GPS menunjukkan bahwa kami masih berada di wilayah perairan Indonesia," ujarnya.
Namun, tambah Bogas, peralatan yang digunakan tersebut tidak diakui oleh petugas patroli perairan Australia, dan menuduh telah memasuki wilayah perairan mereka secara ilegal.
Ia mengatakan semua nelayan Indonesia yang mencari ikan di wilayah perairan Laut Timor, menggunakan GPS untuk mengetahui batas wilayah perairan antara Indonesia dan Australia, sehingga tidak mungkin dituduh memasuki wilayah perairan negara lain secara ilegal.
"Kami tidak bisa berbuat banyak. Kami langsung digiring masuk ke wilayah perairan mereka dan terus menuju Darwin untuk menjalani pemeriksaan," tambah Nasrul.
Ia menambahkan, setelah mereka ditangkap oleh patroli perairan Australia, kapal-kapal mereka langsung dibakar tanpa adanya ganti rugi.
"Pemerintah Australia hanya memberi ganti rugi kepada nelayan Indonesia asal Sulawesi setelah perahunya dibakar. Tetapi, kami yang dari NTT tidak pernah mendapat ganti rugi," katanya dan menambahkan bahwa ia sangat kecewa dengan pemerintah Indonesia yang tidak memperjuangkan batas wilayah peraiaran maritim secara permanen antara kedua negara.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008