Bogor (ANTARA) - Sebagian perempuan mungkin tidak bisa mencegah terkena kanker payudara salah satunya karena mewarisi mutasi BRCA1 seperti selebritas Angelina Jolie, tapi mereka dapat mendeteksi untuk penanganan.

Kepala Laboratorium Kalgen Innolab Andi Utama dalam sebuah seminar media di Bogor, beberapa waktu lalu, menegaskan sebagian perempuan juga akan meneruskan mutasi kepada anak-anaknya dengan persentase 50-85 persen, selain risiko terkena kanker payudara pada diri sendiri juga meningkat.

Pada perempuan yang berisiko tinggi terkena kanker payudara, ada sejumlah pilihan penanganan dini demi mencegah kanker memasuki stadium lanjut.

Salah satunya bedah profilaksis, yakni mastektomi profilaksis bilateral yang diklaim bisa menurunkan risiko di antara karier dengan varian patogenik sekitar 89,5-100 persen.

Baca juga: Konsumsi bawang bisa kurangi risiko kena kanker payudara

Menurut Andi, mastektomi menurunkan risiko sekitar 90 persen setelah rerata follow up 6,4 persen.

Dalam kesempatan yang sama, Medical Department Kalbe Hastarita Lawrenti mengatakan pengangkatan benjolan atau terapi bedah mungkin dilakukan jika kanker masih stadium awal. Terapi itu masih menjadi dasar terapi kanker yang juga bisa digunakan untuk diagnosis.

Terapi lainnya adalah radiasi untuk mengecilkan tumor dan membunuh sel kanker, kemoterapi yang pemberian obatnya berdasarkan luas permukaan tubuh, serta terapi target dan imunoterapi.

Faktor risiko di luar gen

Di sisi lain, para perempuan yang tidak memiliki riwayat keluarga terkena kanker payudara atau mutasi BRCA1 bisa menjalani pemeriksaan BRCA1 dan 2 yang juga untuk memprediksi risiko.

Baca juga: Pakar: Temuan akar Bajakah melawan sel kanker tahap awal

Jika hasil pemeriksaan negatif, pemeriksaan rutin payudara sendiri (SADARI) tetap harus dilakukan setiap bulan.

Selain itu, lakukan pemeriksaan payudara secara klinis (SADANIS) satu atau dua tahun sekali mulai usia 25 tahun. Hal lainnya, pemeriksaan mamografi dan MRI setiap tahun mulai usia 25 tahun.

 

Hal lainnya yang bisa dilakukan, pemeriksaan biomarker atau biomolekul yang mengandung informasi yang diperlukan manusia untuk hidup dan berkembang (DNA, mRNA dan protein). Pemeriksaan itu disebut HER2.

HER2 selain sebagai prediktor risiko, juga bisa digunakan untuk memprediksi obat yang tepat dan pengawasan. Pemeriksaan perlu dilakukan di laboratorium yang memenuhi syarat kualifikasi.

Ahli onkologi medik Aru W. Sudoyo mengatakan faktor risiko kanker payudara tak semata internal atau mutasi gen, tetapi juga faktor lingkungan yang salah satunya adalah kepadatan payudara.

"Semakin padat, sel-sel lebih banyak," kata Aru.

Baca juga: Implan payudara Biocell ditarik karena tingkatkan risiko kanker

Selain itu, menunda kehamilan atau bahkan tidak mau hamil juga menjadi faktor risiko berikutnya. Peneliti kanker dari Kalgen Innolab Ahmad Utomo menuturkan perempuan, yang tidak hamil dan melahirkan, sel di payudaranya tidak pernah mengalami apoptosis atau kematian massal sel.

Sel-sel tubuh bisa terpapar radikal bebas termasuk di payudara. Sel semakin banyak ketika seorang perempuan hamil, termasuk sel yang mengalami mutasi.

Setelah selesai menyusui, secara alami terjadi pengecilan sel di payudara karena terjadi pembersihan massal dan menyebabkan kematian sel atau apoptosis.

"Kalau tidak hamil, apoptosis tidak terjadi. Gen termutasi tetap hidup. Kalau enggak mau punya anak, tabungan mutasi banyak," tutur Ahmad.

Baca juga: Ilmuwan berupaya kendalikan kanker sebelum mengobati penderitanya

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Imam Santoso
Copyright © ANTARA 2019