Depok (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Boni Hargens menilai sepinya peringatan peristiwa 27 Juli karena Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) tengah mengalami "amnesia politik". "PDIP sebagai partai yang seharusnya paling berperan dalam mengenang tragedi 27 Juli agaknya mengidap amnesia politik," kata Boni, menanggapi sepinya peringatan 27 Juli, di Depok, Jabar, Senin. Tragedi 27 Juli 1996 adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) dibantu oleh aparat kepolisian dan TNI. Boni mengaku heran, PDIP sebagai partai yang seharusnya paling berperan dalam mengenang tragedi 27 Juli sepertinya melupakan tragedi kemanusiaan tersebut. Seharusnya, lanjut dia, sebagai partai besar yang menyandang predikat partai `wong cilik`, PDIP menunjukkan sikap hormat terhadap sejarah dan pahlawan demokrasi dengan mengenang secara istimewa tragedi politik seperti ini. "Urusannya bukan sekedar kepentingan partai, tapi bagaimana mengajarkan suatu bangsa tentang pentingnya mengingat sejarah dan mengenang mereka yang berjasa dalam sejarah," jelas Direktur Parrhesia Institute tersebut. Perlahan terlupakan Menurut dia, tanpa tragedi 27 Juli PDIP tidak mungkin bisa mendulang dukungan luas sehingga menang dalam Pemilu 1999 dan agak mustahil Megawati bisa menjadi wakil presiden lalu presiden. "Ini bukti bahwa partai politik kurang menghargai sejarah," ujar dosen ilmu politik UI itu. Ia menjelaskan, peringatan tragedi 27 Juli dari awal dimainkan sebagai komoditas politik. Hingga sekitar tahun 2001, tragedi tersebut terus dikenang melalui berbagai acara, namun setelah Megawati menduduki jabatan presiden, tragedi itu perlahan-lahan terlupakan. "Apalagi dilihat kan tidak laku lagi dijual, karena tragedi itu hanya strategi melawan kekuatan Orde Baru. Era sesudah Soehartoisme, 27 Juli kehilangan roh politik sehingga tidak begitu menarik untuk dikenang lagi," katanya. Dikatakannya yang paling dirugikan dalam peristiwa itu tentu saja keluarga korban. Mereka merasa tidak dihargai karena kematian sanak saudara mereka tidak berbeda dengan korban wabah penyakit sampar dalam sejarah. "Padahal 27 Juli adalah harga politik amat mahal yang harus ditebus untuk sebuah perubahan penting dalam sejarah berdemokrasi di negeri ini," demikian Boni. (*)

Copyright © ANTARA 2008