Surabaya (ANTARA News) - Lembaga pemantau HAM "Imparsial" mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas) HAM untuk membawa kasus pelanggaran HAM dalam insiden Alastlogo di Desa Alastlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur pada 30 Mei 2007, ke Pengadilan HAM. "Saya berharap Komnas HAM merilis penyelidikan tentang adanya pelanggaran HAM pada insiden yang mengakibatkan empat petani setempat tewas ditembak anggota TNI-AL dalam waktu 1-2 minggu ke depan," kata staf peneliti Imparsial, Cahyadi Satria, kepada ANTARA di Surabaya, Kamis. Di sela-sela diskusi riset bertajuk "Sengketa Tanah: Masyarakat versus Militer" yang digelar Imparsial-LBH Surabaya dan dihadiri puluhan petani dari berbagai daerah di Jatim, ia mengatakan pelanggaran HAM di Alastlogo sudah terjadi sejak tahun 1960-an karena tidak adanya jarak pemisah antara instalasi militer dengan lingkungan masyarakat sipil. "Yang menarik, TNI melalui Laporan Tahunan TNI-AL tentang `Laporan Urusan Daerah Tahun 1962` sudah menyimpulkan kawasan Alastlogo tidak layak untuk Puslatpur (pusat latihan tempur), karena itu KKO akhirnya mengundurkan diri dan membatalkan pembebasan tanah yang dilakukan selama itu," katanya. Namun, katanya, masyarakat setempat sejak tahun 1970-an mulai mengalami tindak kekerasan dengan pemindahan paksa, karena tempat tinggalnya dijadikan perkebunan kapas dan ketela pohon, kemudian tahun 1994 mulai ada PT KGA yang dikelola PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) untuk menggarap perkebunan tebu. "Akhirnya, Kepala BPN Jatim menerbitkan surat keputusan tentang Program Pemukiman Angkatan Laut (Prokimal) pada 8 Juli 1992, namun program itu belum jalan sampai sekarang. Tahun itu juga mulai ada pembangunan PLTGU Grati yang berlabel `Indonesia Power`," katanya. Di era reformasi pada tahun 1998, katanya, warga mulai berani mengambil hak dengan bukti kepemilikan berupa letter C dan petok D, sehingga TNI-AL akhirnya mengeluarkan keputusan wilayah Grati sebagai Puslatpur pada 16 Mei 2001. "Semua cara mulai dari perkebunan, Prokimal, hingga Puslatpur merupakan alat untuk menguasai tanah rakyat, sehingga Komnas HAM harus meneliti pelanggaran HAM di situ, bukan sekedar berhenti pada kriminalisasi yang terjadi," katanya. Oleh karena itu, katanya, insiden Alastlogo yang dilakukan 13 anggota TNI-AL tidak hanya ditindak sebagai kriminal melalui peradilan militer, namun dibawa ke peradilan HAM agar kebijakan yang salah di kawasan Alastlogo dapat terungkap. Senada dengan itu, direktur LBH Surabaya M Syaiful Aris SH menilai jumlah tanah yang dikuasai TNI di Jatim mencapai 376 ribu hektar, namun hanya 14 persen yang memiliki sertifikat, sehingga potensi konflik masyarakat sipil versus TNI sangat besar. "Saya kira, Komnas HAM perlu merujuk kepada UU 26/2000 tentang Peradilan HAM, karena itu Komnas HAM harus segera menyelidiki lagi kasus itu untuk diajukan ke Peradilan HAM. Tanpa upaya itu, maka kasus serupa akan terulang," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008