Mogadishu, (ANTARA News) - Satu bom pinggir jalan merenggut banyak korban jiwa di Somalia, Ahad, dan sekelompok perempuan yang sedang membersihkan jalan di Mogadishu "tercabik-cabik" dalam peristiwa yang menewaskan sedikitnya 20 warga sipil, kata beberapa saksi mata dan sumber medis. "Mereka sedang membersihkan jalan ketika ledakan besar ini mengguncang seluruh wilayah itu. Saya menghitung 15 mayat, kebanyakan perempuan yang tercabik-cabik," kata saksi mata bernama Hasan Abdi Mohamed. Mohamed mengatakan ledakan itu, salah satu ledakan paling mematikan yang ditujukan pada warga sipil di ibukota Somalia --yang bergolak-- dalam beberapa pekan, dan melukai tak kurang dari 40 orang. Penduduk lokal bergegas untuk menolong orang yang cedera, dan seorang saksi mata lain --Ali Hasan Adan-- juga menghitung sebanyak 15 korban tewas. "Darah berceceran di mana-mana, orang yang tewas dan cedera bergelimpangan di seluruh jalan tersebut," kata Adan. "Ini adalah tragedi, saya tak pernah menyaksikan pembantaian seperti ini. Dari apa yang dapat saya saksikan, mereka semua adalah perempuan yang sedang membersihkan daerah ini," katanya. Di rumah sakit utama di kota tersebut, Madina, Dokter Dahir Mohamed Mohamoud mengatakan lima di antara korban yang dibawa ke rumah sakit itu meninggal akibat luka mereka, sehingga jumlah korban jiwa naik jadi sebanyak 20. "Itu adalah jumlah warga sipil paling banyak yang telah kami terima dari satu peristiwa dalam beberapa pekan," katanya. Di rumah sakiut resebut, Shamso Mumin mendapati saudarinya termasuk salah satu korban ledakan itu. "Saudari saya meninggalkan tiga anak piatu. Ia telah menjalani pekerjaan ini selama tiga bulan, tapi sekarang ia telah kehilangan jiwanya," kata perempuan tersebut, sambil menangis. Belum pernyataan bertanggung-jawab atas ledakan itu, tapi kelompok garis keras telah sering mengincar rombongan militer di daerah tersebut dengan menggunakan bom pinggir jalan. Tentara Ethiopia datang untuk membantu pemerintah peralihan dukungan internasional yang sedang menghadapi pertempuran pada penghujung 2006, dan menggulingkan milisi Islam yang sempat menguasai banyak wilayah negeri tersebut. Gerilyawan sejak itu telah melancarkan perang gerilya mematikan terhadap sasaran pemerintah, pasukan Ethiopia dan prajurit pemelihara perdamaian Uni Afrika. Warga sipil telah menanggung dampak berat pertempuran tersebut, sementara lembaga bantuan dan kelompok hak asasi internasional menyatakan sedikitnya 6.000 orang tewas tewas dan ratusan ribu orang lagi kehilangan tempat tinggal dalam satu tahun terakhir saja. Negara di Tanduk Afrika tersebut telah dirundung perang saudara dan membangkang terhadap lebih dari satu lusin gagasan perdamaian setelah penggulingan mantan presiden Mohamed Siad Barre 1991 mengakibatkan kekacauan. PBB menaja gagasan perdamaian baru yang menghasilkan penandatanganan persetujuan gencatan senjata di Djibouti pada 9 Juni antara pemerintah dan gerakan oposisi utama yang didominasi kubu Islam. Namun kesepakatan itu mengakibatkan perpecahan di kalangan oposisi. Kelompok garis keras berkeras tentara Ethiopia mesti meninggalkan negeri tersebut sebelum perundingan dimulai. Kerusuhan terus mengguncang ibukota negeri itu hampir setiap hari dan upaya perdamaian mengalami pukulan lagi pada Sabtu, ketika dua-pertiga anggota kabinet mengancam akan meletakkan jabatan karena ada dugaa penyalah-gunaan sumber daya negara oleh Perdana Menteri Nur Hasan Husein. Nur Hasan Husein, Ahad, mengatakan ia telah menerima surat pengunduran diri dari enam dari 10 anggota kabinet yang mengancam akan meletakkan jabatan, dan sudah mengganti dua di antara mereka. Ia berkeras pukulan itu takkan mempengaruhi persetujuan Djibouti.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008