Jakarta (ANTARA) - Mantan Staf Khusus Presiden, Nicolaus Teguh Budi Harjanto atau yang lebih dikenal dengan nama Nico Harjanto diprediksi masuk dalam jajaran kabinet pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Nico Harjanto, pada Senin (21/10), datang ke Istana mengenakan kemeja putih bersama sejumlah tokoh lain yang dipercaya akan menjadi menteri dalam kabinet.

Dia datang berbarengan dengan mantan Mensesneg Pratikno dan mantan Aktivis 98 Fadjroel Rachman ke Istana.

Baca juga: Istana: Presiden dibantu 7 asisten susun kabinet pemerintahan

Nico Harjanto merupakan pria kelahiran Sleman, 1 Desember 1972. Jika benar Nico Harjanto ditunjuk sebagai menteri, maka perjalanan karirnya boleh dibilang cukup mulus.

Nico Harjanto merupakan lulusan S1 Hubungan Internasional (1996), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; lulusan S2 Ilmu Politik, Ohio University, Athens, Ohio, Amerika Serikat (2003), dan lulusan S3 Ilmu Politik, Northern Illinois University, Amerika Serikat (2010).

Semasa kecil, Nico Harjanto yang kerap menonton tayangan Dunia Dalam Berita di Stasiun TVRI, sudah tertarik dengan dunia politik atas dasar kemudahan bepergian ke luar negeri.

Di dalam pikiran Nico Harjanto kecil kala itu jika bergelut di dunia politik maka akan mudah jalan-jalan ke luar negeri, layaknya yang disaksikannya dalam berita televisi.

Pandangan itu, nampaknya terpatri di benak Nico Harjanto hingga remaja, sehingga membawa dirinya memutuskan mengambil jurusan Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

Setelah menyandang gelar sarjana S1 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tahun 1996, Nico semakin mencintai dunia politik.

Dia langsung mengirimkan lamaran kerja ke sejumlah lembaga. Salah satunya lamaran sebagai seorang peneliti di lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Berbekal kemampuannya menulis dan menyusun skripsi, Nico Harjanto akhirnya diterima CSIS sebagai seorang peneliti.

Di lembaga itu Nico Harjanto meraih mimpinya bepergian ke luar negeri. Dia memperoleh beasiswa dari CSIS untuk meneruskan pendidikan S2 ke Amerika Serikat dan lulus tahun 2003.

Tidak lama berselang, Nico Harjanto kembali memperoleh beasiswa dari CSIS untuk menyelesaikan studi S3 kembali ke Amerika Serikat dan berhasil diselesaikannya pada tahun 2010.

Selepas memperoleh gelar S3, Nico Harjanto kembali meneruskan kiprahnya sebagai seorang peneliti di CSIS selama dua tahun, hingga tahun 2012, sebelum akhirnya bersama sejumlah rekan-rekannya, mendirikan lembaga riset sendiri bernama Populi Center.

Selama menjadi seorang peneliti dan pengamat politik, Nico Harjanto tercatat cukup kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Analisanya cukup rasional, dan apa adanya.

Di bawah bendera Populi Center yang didirikannya, Nico Harjanto pernah mengkritisi sikap Presiden Jokowi pada saat penangkapan mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto tahun 2015 silam.

Dia juga pernah mengkritik kinerja sejumlah menteri Kabinet Kerja, salah satunya Menkumham Yasonna Laoly dalam menyikapi dualisme kepengurusan partai politik.

Nico Harjanto pun pernah mencermati lemahnya kabinet Jokowi pada awal pemerintahan karena ketidaksolidan partai politik pengusungnya.

Bahkan, dalam perjalanannya sebagai peneliti di lembaga Populi Center, pada tahun 2015 Nico Harjanto melalui lembaga tersebut pernah mengeluarkan daftar menteri Jokowi yang layak diganti karena kinerjanya dianggap tidak memuaskan.

Setidaknya enam pejabat kabinet diusulkan Populi Center untuk diganti kala itu, yakni Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan yang kala itu dijabat Tedjo Edhy Purdijatno, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.

Selain itu Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise hingga Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto.

Karena kerap bersikap kritis terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, Nico Harjanto tampaknya justru diperhitungkan oleh pemerintah.

Nico Harjanto menjadi salah satu pengamat atau peneliti politik yang diundang makan siang oleh Presiden Jokowi tahun 2015 ke Istana, untuk dimintai masukannya terkait pemerintahan.
​​​
Saat itu, selain Nico Harjanto, pengamat politik yang diundang antara lain peneliti senior Lembaga Ilmu Politik Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris dan Ikrar Nusa Bhakti, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya.

Selain itu turut hadir Guru Besar Universitas Indonesia Thamrin Tamagola, Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yudha serta Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies Philips J Vermonte.

Tidak lama setelahnya Nico Harjanto kemudian tercatat sebagai staf khusus di kabinet Jokowi.

Berdasarkan penelusuran, Nico Harjanto juga menjabat sebagai Komisaris PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. sejak 2017.

Nico Harjanto juga pernah menjadi bagian dari Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi), menjadi dosen tamu di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Jakarta serta dosen di Universitas Paramadina Jakarta.

Jika melihat mulusnya karir Nico Harjanto di bidang politik, serta sepak terjangnya sebagai pengamat politik yang kritis, maka publik boleh menaruh harapan besar Nico Harjanto.

Apabila benar seorang Nico Harjanto diberi kepercayaan oleh Presiden Jokowi sebagai menteri dalam kabinet, setidaknya Nico Harjanto semestinya tidak akan mengulangi kesalahan atau kekurangan para menteri yang pernah dikritiknya dulu.
 

Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019